BAB I
PENDAHULUAN
Al-Qur’an menggambarkan profil hamba Allah
yang ideal, yang tentunya menjadi orientasi pendidikan Qur’ani. Mereka adalah
orang-orang yang berakidah lurus, beribadah secara istiqomah dan penuh
ketundukan, serta mempunyai akhlak yang luhur. Mereka memiliki sikap rendah
hati, tidak sombong, berbicara dengan kata-kata yang baik, dan tidak menanamkan
kebencian, serta jika mereka dicela, dibalasnya dengan cara yang baik. Mereka
orang-orang yang menghabiskan sebagian malamnya untuk melakukan shalat serta ‘amal
shalih lainnya, selalu memohon dihindarkan dari adzab neraka, dan
proporsional dalam membelanjakan harta. Mereka juga tidak berlaku syirik, membunuh,
ataupun berzina, tidak memberikan kesaksian palsu dan tidak melakukan hal-hal
yang tercela.
Menjadi hamba pilihan adalah dambaan
setiap orang. Disamping beriman dan berilmu, ia juga memiliki akhlak yang baik.
Bila kita memahami dan merenungi firman Allah subhanahu wa Ta’ala, sifat-sifat
‘Ibadurrahman ini telah tercantum di dalam Al Qur’an surat Al Furqan: 63-74.
Rumusan Masalah
1.
Apa definisi Ibaadurrahman
2.
Apa saja dan bagaimana sifat sifat hamba-hamba Allah yang beriman
yang dimaksud pada QS Al-Furqan ayat 63-67?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Definisi Ibadurrahman
1.
Tawadu’
Dan hamba-hamba Tuhan yang Maha Penyayang itu
(ialah) orang-orang yang berjalan di atas bumi dengan rendah hati dan apabila
orang-orang jahil menyapa mereka, mereka mengucapkan kata-kata (yang
mengandung) keselamatan.
Imam Ibnu Katsir rahimahulllah
menafsirkan ayat ini bahwa inilah sifat-sifat hamba Allah subhanahu wa ta’ala
yang beriman, ”Orang-orang yang berjalan dimuka bumi dengan rendah hati (
tawadhu’), berjalan di muka bumi dengan ramah dan lemah lembut, tidak berpura-pura
dalam gaya berjalannya dan tidak dengan kesombongan, tidak berjalan dengan gaya
yang dibuat-buat serta tidak lemah. Dan yang dimaksud bukanlah bahwa mereka
berjalan seperti orang yang sakit, dalam keadaan lemah dan dalam rangka riya’
karena Rasululllah shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri apabila berjalan maka
seakan -akan beliau adalah air yang mengalir dari tempat yang tinggi dan
seolah-olah bumi dilipat untuk beliau.”
Al haun adalah gaya berjalan seseorang yang
sesuai dengan karakter aslinya, tidak berpura-pura dan tidak pula sombong,
sedangkan gaya berjalan yang sombong dibenci, kecuali dalam perang di jalan
Allah.
Yang dimaksud dengan kata “ rendah
hati” disini adalah ketenangan dan kewibawaan Sebagaimana dalam sebuah hadist,
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,”
إذَا أُقِيمَتُ الصَّلاةُ فَالا تَأْ
تُوْهَا تَسْعَوْنَ ، وَأْتُوْهَا تَمْشُونَ عَلَيْكُمُ السَّكِيْنَتةُ ،
فَماَأدْرَكْتُمْ فَصَلُّوا، وَماَ فاَتَكُمْ فأَتِمُّوا
Artinya: “Apabila shalat telah
ditegakkan ( iqamat ), maka janganlah kalian mendatanginya dengan tergesa-gesa,
datangilah dengan berjalan biasa dan wajib bagi kalian untuk tenang sehingga
rekaan berapapun yang kalian dapat, langsunglah kalian shalat ( dibelakang
imam), dan berapa rekaan rekaatpun yang tertinggal dari kalian maka
sempurnakanlah…” (Muttafaq’alaih)
Sehingga maksud “orang-orang yang
berjalan di atas bumi dengan rendah hati” yaitu bukanlah mereka yang
berjalan dengan menundukkan kepalanya, sempoyongan, sebagaimana yang difahami
sebagian orang yang ingin menampakkan ketakwaan dan kebaikannya.
Ketika Umar bin Khattab Radhiyallahu
‘anhu melihat seorang pemuda yang berjalan dengan lambat, ia bertanya
kepadanya: ”Apakah kamu sedang sakit?“ Ia menjawab, “ Tidak.” Beliaupun
memerintahkan pemuda itu untuk berjalan dengan cepat dan penuh kekuatan.
2.
Membalas Kejelekan dengan Kebaikan
Dan
orang yang melalui malam hari dengan bersujud dan berdiri untuk Tuhan mereka (QS Al Furqan 64).
Jika orang-orang bodoh mengumpat mereka dengan ucapan yang buruk,
mereka tidak membalasnya dengan ucapan yang buruk pula, tetapi memaafkan,
membiarkan, dan tidak membalas kecuali dengan perkataan yang baik. Sebagaimana
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak membalas perbuatan bodoh (jahil)
mereka melainkan dengan kesabaran dan lemah lembut,
“Qaalu
Salaaman”: ada beberapa pendapat dalam memaknai
kata “salaaman” yaitu :
a)
Tidak
bertindak bodoh kepada seorang pun dan jika ada yang bertindak bodoh kepada
mereka, mereka akan berlemah lembut kepadanya.
b)
Mereka
berkata dengan perkataan yang benar tidak menyakiti dan tidak mengandung dosa.
Dan ini merupakan pendapat imam Mujahid, yang menjelaskan tentang makna dari
kata “salaaman” yaitu kebenaran, yang dimaksud adalah mereka (‘Ibadurrahman).
c)
Ada yang
berpendapat, ”Jika orang-orang tolol mengarahkan kepada mereka ucapan yang
buruk dan perkataan yang keji, mereka mengatakan kepada orng-orang tersebut, ”Salaaman”
yaitu, ”Uacapan keselamatan dari kalian,” itu merupakan ucapan salam
perpisahan, bukan penghormatan.”
Maka sifat ‘Ibadurrahman adalah tidak membalas perkataan yang buruk
dengan perkataan yang serupa. Dan ketika orang-orang dungu melontarkan kalimat
yang rendah, ucapan yang buruk dan ungkapan yang keji lagi jelek, merekapun
berpaling dan berkata: semoga keselamatan menimpa kalian, kami tidak
mengharapkan orang-orang yang bodoh.[1]
Imam Ahmad meriwayatkan dari An-Nu’man bin Muqrin Al Muzani, dia
berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda ketika ada seseorang
mencaci orang yang ada di dekat beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam, kemudian
orang yang dicaci itu berkata: bagimu keselamatan, maka Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda, ”Sesungguhnya seorang malaikat yang ada
diantara kalian berdua, setiap kali orang itu mencacimu, dia akan membelamu, ia
berkata kepada pencaci itu, Bahkan kamu dan kamu yang lebih pantas mendapatkan
cacian tersebut, dan apabila kamu mengatakan kepadanya, ’Bagimu keselamatan’,
malaikat akan berkata, Tidaklah untuknya, tetapi untuk kamu, kamu lebih pantas
mendapatkannya.” ( HR. Ahmad ).[2]
3. Senantiasa
Tahajjud di Keheningan Malam
Sesungguhnya Jahannam itu seburuk-buruk tempat menetap dan tempat
kediaman. (QS Al Furqan 65).
Sifat ketiga untuk menjadi hamba yang ‘Ibadurrahman yaitu senantiasa
tahajjud dikeheningan malam di saat kebanyakan manusia sedang tidur atau menghabiskan
malam untuk waktu istirahat mereka. Pada kondisi inilah disaat hati sedang
tenang karena jauh dari berbagai kesibukan urusan dunia.
Mereka adalah orang yang menyedikitkan tidurnya, menjauhkan diri
dari hal-hal yang melalaikan jiwa mereka di malam hari. Rasa takut dan harapan
mereka terhadap Rabb mereka telah mampu menjadikan mereka sebagai
manusia-manusia penghidup malam.
Waktu malam merupakan waktu yang tepat untuk beribadah dan
bermunajat kepada Allah subhanahu wa ta’ala. Waktu yang mustajab untuk berdoa
kepada Allah subhanahu wa ta’ala. Dalam sebuah hadist yang diriwayatkan oleh
Imam Bukhari, dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu sesungguhnya Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya Rabb kami yang Maha
Berkah lagi Maha Tinggi turun setiap malam ke langit dunia hingga tersisa
sepertiga akhir malam, lalu Berfirman: ‘Barangsiapa yang berdoa, maka Aku akan
kabulkan, barangsiapa yang memohon, pasti Aku akan perkenankan dan barangsiapa
yang meminta ampun, pasti Aku akan mengampuninya.’” ( HR. Al Bukhari).
[3]
4.
Ketakutan Mereka dari Adzab Neraka Jahannam
Artinya Dan orang-orang yang berkata: "Ya Tuhan
kami, jauhkan azab Jahannam dari kami, Sesungguhnya azabnya itu adalah
kebinasaan yang kekal". (QS
Al-Furqan 65). Sesungguhnya Jahannam itu seburuk-buruk tempat menetap dan
tempat kediaman. (QS Al-Furqan 66).
Sifat hamba yang ‘Ibadurrahman adalah mereka takut terhadap adzab
neraka Jahannam. Secara umum makna ayat ini yaitu Sesungguhnya mereka beribadah
kepada Rabb mereka, mereka takut terhadap siksa-siksa-Nya, sesungguhnya adzab
Rabb mereka, tidak ada orang yang merasa aman dari kedatangannya, sehingga
diantara mereka ada yang tamak dan senantiasa mengharapkan rahmat dari Allah,
berada dalam ketakutan, dan kekhawatiran terhadap adzab serta siksaan-Nya.
Begitu pula keadaan orang-orang yang beriman kepada Allah , mereka tidak pernah
putus asa memohon kepada Allah , dan tidak pernah merasa tenang akan siksa
dari-Nya. (Diriwayatkan oleh Thabrani di dalam Al- Ausath)
Kedahsyatan adzab neraka Jahannam sudah banyak digambarkan melalui
ayat-ayat Al Qur’an. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda dalam
menerangkan firman Allah subhanahu wa ta’ala:
“Dihadapannya
ada Jahannam dan dia diberi minuman dengan air nanah itu dan hampir dia tidak
bisa menelannya dan datanglah (bahaya) maut kepadanya dari segenap penjuru,
tetapi dia tidak juga mati, dan dihadapannya masih ada adzab yang berat.” (QS. Ibrahim: 16-17). [4]
5.
Tidak Berlebihan dalam Membelanjakan Harta
Dan orang-orang yang apabila membelanjakan
(harta), mereka tidak berlebihan, dan tidak (pula) kikir, dan adalah
(pembelanjaan itu) di tengah-tengah antara yang demikian. (QS Al-Furqan 77)
Maknanya adalah sesungguhnya diantara sifat mereka bahwa mereka
senantiasa bersikap pertengahan dalam infaq mereka sehingga mereka tidak israf
dengan melampaui batas yang tidak disyari’atkan Allah dan tidak pula mereka
bakhil, lebih-lebih taqtir dan menyempitkan hingga di bawah batasan.
Sesungguhnya mereka adil dan tengah-tengah dalam melakukannya karena mengetahui
bahwa sebaik-baik urusan adalah pertengahannya, sehingga di dalam kehidupan
mereka, mereka adalah tauladan yang dapat ditiru di dalam sikap ekonomis dan
pertengahan serta seimbang.
Jadi kedua sifat yang harus dihindari yaitu israf dan taqtir. Penyianyiaan
harta yang bukan pada tempatnya merupakan bentuk Israf sedangkan
taqtir adalah pengumpulan harta untuk dirinya sendiri. Maka hamba yang
‘Ibadurrahman dia adalah pertengahan dan seimbang dalam menggunakan hartanya.
[1] http://www.belajarislam.com/12-sifat-hamba-yang-%E2%80%98ibaadurahman/.
Di akses 10-05-2011
[2] HR. Imam Ahmad dalam kitab Al Musnad: 5/445
[3] Shahih Bukhari kitab Da’awaat, bab Doa Nisfullail, 7/149-150
Tidak ada komentar:
Posting Komentar