Senin, 30 April 2012

SIFAT-SIFAT HAMBA ALLAH YANG MENDAPAT KEMULIAAN KAJIAN QS AL-FURQAN AYAT 63-67


BAB I
PENDAHULUAN
Al-Qur’an menggambarkan profil hamba Allah yang ideal, yang tentunya menjadi orientasi pendidikan Qur’ani. Mereka adalah orang-orang yang berakidah lurus, beribadah secara istiqomah dan penuh ketundukan, serta mempunyai akhlak yang luhur. Mereka memiliki sikap rendah hati, tidak sombong, berbicara dengan kata-kata yang baik, dan tidak menanamkan kebencian, serta jika mereka dicela, dibalasnya dengan cara yang baik. Mereka orang-orang yang menghabiskan sebagian malamnya untuk melakukan shalat serta ‘amal shalih lainnya, selalu memohon dihindarkan dari adzab neraka, dan proporsional dalam membelanjakan harta. Mereka juga tidak berlaku syirik, membunuh, ataupun berzina, tidak memberikan kesaksian palsu dan tidak melakukan hal-hal yang tercela.
Menjadi hamba pilihan adalah dambaan setiap orang. Disamping beriman dan berilmu, ia juga memiliki akhlak yang baik. Bila kita memahami dan merenungi firman Allah subhanahu wa Ta’ala, sifat-sifat ‘Ibadurrahman ini telah tercantum di dalam Al Qur’an surat Al Furqan: 63-74.
Rumusan Masalah
1.       Apa definisi Ibaadurrahman
2.      Apa saja dan bagaimana sifat sifat hamba-hamba Allah yang beriman yang dimaksud pada QS Al-Furqan ayat 63-67?







BAB II
PEMBAHASAN
A.    Definisi Ibadurrahman

1.      Tawadu’
 
 Dan hamba-hamba Tuhan yang Maha Penyayang itu (ialah) orang-orang yang berjalan di atas bumi dengan rendah hati dan apabila orang-orang jahil menyapa mereka, mereka mengucapkan kata-kata (yang mengandung) keselamatan.
Imam Ibnu Katsir rahimahulllah menafsirkan ayat ini bahwa inilah sifat-sifat hamba Allah subhanahu wa ta’ala yang beriman, ”Orang-orang yang berjalan dimuka bumi dengan rendah hati ( tawadhu’), berjalan di muka bumi dengan ramah dan lemah lembut, tidak berpura-pura dalam gaya berjalannya dan tidak dengan kesombongan, tidak berjalan dengan gaya yang dibuat-buat serta tidak lemah. Dan yang dimaksud bukanlah bahwa mereka berjalan seperti orang yang sakit, dalam keadaan lemah dan dalam rangka riya’ karena Rasululllah shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri apabila berjalan maka seakan -akan beliau adalah air yang mengalir dari tempat yang tinggi dan seolah-olah bumi dilipat untuk beliau.”
Al haun adalah gaya berjalan seseorang yang sesuai dengan karakter aslinya, tidak berpura-pura dan tidak pula sombong, sedangkan gaya berjalan yang sombong dibenci, kecuali dalam perang di jalan Allah.
Yang dimaksud dengan kata “ rendah hati” disini adalah ketenangan dan kewibawaan Sebagaimana dalam sebuah hadist, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,”
إذَا أُقِيمَتُ الصَّلاةُ فَالا تَأْ تُوْهَا تَسْعَوْنَ ، وَأْتُوْهَا تَمْشُونَ عَلَيْكُمُ السَّكِيْنَتةُ ، فَماَأدْرَكْتُمْ فَصَلُّوا، وَماَ فاَتَكُمْ فأَتِمُّوا
Artinya: “Apabila shalat telah ditegakkan ( iqamat ), maka janganlah kalian mendatanginya dengan tergesa-gesa, datangilah dengan berjalan biasa dan wajib bagi kalian untuk tenang sehingga rekaan berapapun yang kalian dapat, langsunglah kalian shalat ( dibelakang imam), dan berapa rekaan rekaatpun yang tertinggal dari kalian maka sempurnakanlah…” (Muttafaq’alaih)
Sehingga maksud “orang-orang yang berjalan di atas bumi dengan rendah hati” yaitu bukanlah mereka yang berjalan dengan menundukkan kepalanya, sempoyongan, sebagaimana yang difahami sebagian orang yang ingin menampakkan ketakwaan dan kebaikannya.
Ketika Umar bin Khattab Radhiyallahu ‘anhu melihat seorang pemuda yang berjalan dengan lambat, ia bertanya kepadanya: ”Apakah kamu sedang sakit?“ Ia menjawab, “ Tidak.” Beliaupun memerintahkan pemuda itu untuk berjalan dengan cepat dan penuh kekuatan.
2.    Membalas Kejelekan dengan Kebaikan
 Dan orang yang melalui malam hari dengan bersujud dan berdiri untuk Tuhan mereka (QS Al Furqan 64).
Jika orang-orang bodoh mengumpat mereka dengan ucapan yang buruk, mereka tidak membalasnya dengan ucapan yang buruk pula, tetapi memaafkan, membiarkan, dan tidak membalas kecuali dengan perkataan yang baik. Sebagaimana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak membalas perbuatan bodoh (jahil) mereka melainkan dengan kesabaran dan lemah lembut,
“Qaalu Salaaman”: ada beberapa pendapat dalam memaknai kata “salaaman” yaitu :
a)      Tidak bertindak bodoh kepada seorang pun dan jika ada yang bertindak bodoh kepada mereka, mereka akan berlemah lembut kepadanya.
b)      Mereka berkata dengan perkataan yang benar tidak menyakiti dan tidak mengandung dosa. Dan ini merupakan pendapat imam Mujahid, yang menjelaskan tentang makna dari kata “salaaman” yaitu kebenaran, yang dimaksud adalah mereka (‘Ibadurrahman).
c)      Ada yang berpendapat, ”Jika orang-orang tolol mengarahkan kepada mereka ucapan yang buruk dan perkataan yang keji, mereka mengatakan kepada orng-orang tersebut, ”Salaaman” yaitu, ”Uacapan keselamatan dari kalian,” itu merupakan ucapan salam perpisahan, bukan penghormatan.”
Maka sifat ‘Ibadurrahman adalah tidak membalas perkataan yang buruk dengan perkataan yang serupa. Dan ketika orang-orang dungu melontarkan kalimat yang rendah, ucapan yang buruk dan ungkapan yang keji lagi jelek, merekapun berpaling dan berkata: semoga keselamatan menimpa kalian, kami tidak mengharapkan orang-orang yang bodoh.[1]
Imam Ahmad meriwayatkan dari An-Nu’man bin Muqrin Al Muzani, dia berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda ketika ada seseorang mencaci orang yang ada di dekat beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam, kemudian orang yang dicaci itu berkata: bagimu keselamatan, maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ”Sesungguhnya seorang malaikat yang ada diantara kalian berdua, setiap kali orang itu mencacimu, dia akan membelamu, ia berkata kepada pencaci itu, Bahkan kamu dan kamu yang lebih pantas mendapatkan cacian tersebut, dan apabila kamu mengatakan kepadanya, ’Bagimu keselamatan’, malaikat akan berkata, Tidaklah untuknya, tetapi untuk kamu, kamu lebih pantas mendapatkannya.” ( HR. Ahmad ).[2]
3.    Senantiasa Tahajjud di Keheningan Malam


Sesungguhnya Jahannam itu seburuk-buruk tempat menetap dan tempat kediaman. (QS Al Furqan 65).
Sifat ketiga untuk menjadi hamba yang ‘Ibadurrahman yaitu senantiasa tahajjud dikeheningan malam di saat kebanyakan manusia sedang tidur atau menghabiskan malam untuk waktu istirahat mereka. Pada kondisi inilah disaat hati sedang tenang karena jauh dari berbagai kesibukan urusan dunia.
Mereka adalah orang yang menyedikitkan tidurnya, menjauhkan diri dari hal-hal yang melalaikan jiwa mereka di malam hari. Rasa takut dan harapan mereka terhadap Rabb mereka telah mampu menjadikan mereka sebagai manusia-manusia penghidup malam.
Waktu malam merupakan waktu yang tepat untuk beribadah dan bermunajat kepada Allah subhanahu wa ta’ala. Waktu yang mustajab untuk berdoa kepada Allah subhanahu wa ta’ala. Dalam sebuah hadist yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari, dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu sesungguhnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya Rabb kami yang Maha Berkah lagi Maha Tinggi turun setiap malam ke langit dunia hingga tersisa sepertiga akhir malam, lalu Berfirman: ‘Barangsiapa yang berdoa, maka Aku akan kabulkan, barangsiapa yang memohon, pasti Aku akan perkenankan dan barangsiapa yang meminta ampun, pasti Aku akan mengampuninya.’” ( HR. Al Bukhari). [3]
4.    Ketakutan Mereka dari Adzab Neraka Jahannam
š
Artinya  Dan orang-orang yang berkata: "Ya Tuhan kami, jauhkan azab Jahannam dari kami, Sesungguhnya azabnya itu adalah kebinasaan yang kekal".  (QS Al-Furqan 65). Sesungguhnya Jahannam itu seburuk-buruk tempat menetap dan tempat kediaman. (QS Al-Furqan 66).
Sifat hamba yang ‘Ibadurrahman adalah mereka takut terhadap adzab neraka Jahannam. Secara umum makna ayat ini yaitu Sesungguhnya mereka beribadah kepada Rabb mereka, mereka takut terhadap siksa-siksa-Nya, sesungguhnya adzab Rabb mereka, tidak ada orang yang merasa aman dari kedatangannya, sehingga diantara mereka ada yang tamak dan senantiasa mengharapkan rahmat dari Allah, berada dalam ketakutan, dan kekhawatiran terhadap adzab serta siksaan-Nya. Begitu pula keadaan orang-orang yang beriman kepada Allah , mereka tidak pernah putus asa memohon kepada Allah , dan tidak pernah merasa tenang akan siksa dari-Nya. (Diriwayatkan oleh Thabrani di dalam Al- Ausath)
Kedahsyatan adzab neraka Jahannam sudah banyak digambarkan melalui ayat-ayat Al Qur’an. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda dalam menerangkan firman Allah subhanahu wa ta’ala:
“Dihadapannya ada Jahannam dan dia diberi minuman dengan air nanah itu dan hampir dia tidak bisa menelannya dan datanglah (bahaya) maut kepadanya dari segenap penjuru, tetapi dia tidak juga mati, dan dihadapannya masih ada adzab yang berat.” (QS. Ibrahim: 16-17). [4]
5.    Tidak Berlebihan dalam Membelanjakan Harta

 Dan orang-orang yang apabila membelanjakan (harta), mereka tidak berlebihan, dan tidak (pula) kikir, dan adalah (pembelanjaan itu) di tengah-tengah antara yang demikian. (QS Al-Furqan 77)

Maknanya adalah sesungguhnya diantara sifat mereka bahwa mereka senantiasa bersikap pertengahan dalam infaq mereka sehingga mereka tidak israf dengan melampaui batas yang tidak disyari’atkan Allah dan tidak pula mereka bakhil, lebih-lebih taqtir dan menyempitkan hingga di bawah batasan. Sesungguhnya mereka adil dan tengah-tengah dalam melakukannya karena mengetahui bahwa sebaik-baik urusan adalah pertengahannya, sehingga di dalam kehidupan mereka, mereka adalah tauladan yang dapat ditiru di dalam sikap ekonomis dan pertengahan serta seimbang.
Jadi kedua sifat yang harus dihindari yaitu israf dan taqtir. Penyianyiaan harta yang bukan pada tempatnya merupakan bentuk Israf sedangkan taqtir adalah pengumpulan harta untuk dirinya sendiri. Maka hamba yang ‘Ibadurrahman dia adalah pertengahan dan seimbang dalam menggunakan hartanya.


[2] HR. Imam Ahmad dalam kitab Al Musnad: 5/445
[3] Shahih Bukhari kitab Da’awaat, bab Doa Nisfullail, 7/149-150

Tidak ada komentar:

Posting Komentar