Esensialisme kerap diungkap sebagai
reaksi kedua terhadap progresivisme taahun 1930-an. Dengan alasan yang hampir
sama dengan kalangan perenialisme, kalangan esensialisme menilai praktik
progresivisme telah melahirkan praktik pendidikan yang gagal, teruama karena
upaya progresivisme di dalam menjadikan pendidikan sebagai usaha belajar tanpa
penderitaan karena dipandang cenderung aristokratis dan antidemokratis.[1]
Esensialisme adalah pendidikan yang
di dasarkan kepada nilai-nilai kebudayaan yang telah ada sejak awal peradaban
manusia. Esensialisme muncul pada zaman Renaisance dengan ciri-ciri utama yang
berbeda dengan progresivisme. Progresivisme berpandangan behwa banyak hal itu
mempunyai sifat yang serba fleksibel dan nilai-nilai itu berubah dan
berkembang. Sedangkan esensialisme menganggap bahwa pijakan semacam ini kurang
tepat, karena dalam pendidikan itu sifat fleksibilitas dalam segala bentuk
dapat menjadi sumber timbulnya pandangan yang berubah-rubah, sehingga
pelaksanaanya menjadi tidak stabil dan tidak menentu[2].
Oleh karena itu esensialisme memandang
bahwa pendidikan harus berpijak pada nilai-nilai yang memiliki kejelasan dan
tahan lama yang memberikan kesetabilan dan nilai-nilai terpilih yang mempunyai tata
yang jelas (zuhairini, 1991: 21).[3]
Essensislisme suatu aliran filsafat
yang lebih merupakan perpaduan ide filsafat idealisme objektif di satu sisi dan
realisme objektif di sisi lainnya. Oleh karena itu wajar
jika ada yang mengatakan Platolah sebagai peletak asas-asas filosofis aliran
ini, ataupun Aristoteles dan Democratos sebagai peletak dasar-dasarnya.
Kendatipun aliran ini kemunculan aliran ini di dasari oleh pemikiran filsafat
idealisme Plato dan realisme Aristoteles, namun bukan berarti kedua aliran ini
lebur kedalam paham esensialisme[4]. Aliran filsafat essensialisme pertama kali muncul sebagai
reaksi atas simbolisme mutlak dan dogmatisme abad pertengahan. Filsafat ini
menginginkan agar manusia kembali kepada kebudayaan lama karena kebudayaan lama
telah banyak melakukan kebaikan untuk manusia.[5]
Idealisme dan realisme adalah aliran
filsafat yang membentuk corak esensialisme. Dua aliran ini bertemu sebagai
pendukung esensialisme, akan tetapi kedua aliran tersebut tidak melebur menjadi
satu dan tidak melepaskan sifat utamanya pada dirinya masing-masing.
A.
Kontribusi Realisme dan Idealisme kepada Esensialisme
1.
Realisme
Realisme memberi dukungan kepada
esenialisme berupa pandangan yang sistematis mengenai alam serta tampat manusia
didalamnya. Ilmu pengetahuan yang mempengaruhi aliran realisme dapat dilihat
dari fisika dan ilmu-ilmu lain yang dapat dipahami berdasarkan adanya tata dan
jalan yang husus. Dengan demikian berarti bahwa suatu kejadian yang paling
sederhana pun dapat ditafsirkan menurut hukum alam, seperti contoh daya tarik
bumi bisa diketahui berdasarkan tata dan jalan yang jelas ilmu Geografi.
2.
Idealisme
Idealisme memberi dukungan terhadap
sensialisme berupa idealisme objektif yang mempunyai pandangan kosmis yang
lebih optimis dibandingkan dengan realisme obyektif. Maksudnya adalah bahwa
pandangan-pandanganya bersifat menyeluruh yang boleh dikatakan meliputi segala
sesuatu. Dengan landasan pikiran bahwa totalitas dalam alam semesta ini pada
hakikanya adalah jiwa atau spirit, idealisme menetapkan suatu pendirian bahwa
sesuatu yang ada ini adalah nyata.
Intinya adalah realisme menitik
beratkan tijauanya mengenai alam dan
dunia fisik sedangkan idealisme menitik beratkan pandanganya kepada
spiritualitas. George Wilhelm Friedrich (1770-1831) mengemukakan adanya
sintesis antarara ilmu pengetahuan (realisme) dan agama (idealisme) menjadi
suatu pemahaman yang menggunakan landasan spiritual.[6]
B.
Pandangan Ontologi Esensialisme
Sifat yang menonjol dari ontologi
esensialisme adalah suatu konsep bahwa dunia ini dikuasai oleh tata yang tiada
cela, yang mengatur isinya dengan tiada cela pula. Pendapat ini berarti bahwa
bagaimana bentuk, sifat, kehendak dan cita-cita manusia haruslah disesuaikan
dengan tata alam yang ada.[7] Tujuan
umum pandangan ini adalah membentuk pribadi bahagia di dunia dan di akhirat.
Sedangkan isi pendidikanya mencangkup ilmu pengetahuan, kesenian dan segala hal
yang mampu menggerakan kehendak manusia.
C.
Pandangan Epistimologi Esensialisme
Teori k\teori kepribadian manusia
sebagai refleksi Tuhan adalah jalan untuk mengerti epistimologi esensialisme.
Sebab jika manusia mampu menyadari realitanya sebagau mikrokosmos dan
maksokosmos. Maka manusia pasti mengetahui dalam tingkat atau kualitas rasionya
mampu memikirkan kesemestianya. Berdasarkan kualitas inilah dia mampu
memproduksi secara tepat pengetahuanya dalam benda-benda, ilmu alam, sosial dan
agama.[8]
D.
Pandangan Aksiologi Esensialisme
Pndangan ontologi dan epistimologi
sangat mempengeruhi pandangan aksiologi. Bagi aliran ini, nilai- nilai berasal
tergantung pandangan- pandangan idealisme dan realisme sebab esensialisme
terbina oleh kedua syarat tersebut.
1.
Teori Nilai Menurut idealisme
Penganut
idealisme berpegangan bahwa hukum-hukum etika adalah hukum kosmos, karena itu
seseorang dikatakan baik jika banyak berinterakifdalam melaksanakan hukum-
hukum itu. Menurut idealisme bahwa sikap, tingkah laku dan ekspresi perasaan
juga mempunyai hubungan dengan kualitas baik dan buruk. Seperti orang yang
berpakaian serba formal seperti dalam upacara, haruslah oramg tersebut bersikaf
formal dan teratur pula.
2.
Teori Nilai Menurut Realisme
Perinsip
realisme tentang tentang etika ialah melalui asas ontologi bahwa sumber semua
pengetahuan manusia terletak pada masalah baik-buruk khususnya dan keadaan
manusia pada umumnya. Perbuatan seseorang adalah hasil perpaduan yang timbul
sebagai akibat adanya saling hubungan antara pembawa- pembawa fisiologis dan
pengaruh- pengaruh dari lingkungan.[9]
E.
Pndangan Esensialisme Mengenai Belajar
Idealisme
sebagai filsafat hidup, memulai tinjauanya mengenai pribadi individu dengan
menitik beratkan kepada aku. Menurut idealisme, bila seseorang itu belajar pada
taraf permulaan adalah memahami akunya sendiri, terus bergerak memahami dunia
obyektif dari mikrokosmos menuju makrokosmos.
Pandangan
Immanuel Kant mengatakan bahwa segala pengetahuan yang dicapai oleh manusia
melalui indra memerlukan unsur apriori yang tidak didahului oleh pengalaman
lebih dulu. Bila seseorang berhadapan benda-benda, tidak berarti bahwa mereka
itu sudah mempunyai bentuk, ruang dan ikatan waktu. Bentuk, ruang dan waktu
sudah ada pada budi manusia sebelum ada pengalaman atau pengamatan. Jadi
apriori yang terarah bukanlah budi kepada benda, tetapi benda-benda itu yang
terarah kepada budi. Budi membentuk, mengatur dalam ruang dan waktu.
Dengan
mengambil landasan fikir tersebut, belajar dapat didefinisikan sebagai jiwa
yang berkembang pada sendirinya sebagai substansi spiritual. Jiwa membina dan
menciptakan diri sendiri (Poedjawijatna 1983: 120-121). Dengan demikian
pandangan- pandangan realisme mencerminkan adanya dua jenis determinasi mutlak
dan terbatas:
1.
Determinisme mutlak,menunjukan
bahwa belajar adalah mengalami hal- hal
yang tidak dapat di halang-halangi adanya, jadi harus ada yang membentuk dunia
ini. Pengenalan ini perlu diikuti oleh penyesuaian supaya dapat tercipta suasana hidup yang harmonis.
2.
Determinisme terbatas, memberikan gambaran kurangnya sifat fasif mengenai belajar. Bahwa
meskipun pengenalan terhadap hal- hal yang mendorong kearah timbulnya orang
lain (kausatif) di dunia ini, berarti tidak dimungkinkan adanya penguasaan
terhadap mereka, namun kemampuan akan pengawasan diperlukan.[10]
F.
Pandangan Esensialisme
Mengenai Kurikulum
Herman arrel Horne mengatakan bahwa hendaknya kurikulum itu
bersendikan aas pundamen tunggal, yaitu watak manusia yang ideal dan ciri- ciri
masyarakat yang ideal. Kegiatan dalam pendidikan perlu disesuaikan dan
ditujukan kepada yang serba baik. Atas ketentuan ini kegiatan dan keaktifan
anak didik tidak terkekang, asalkan sejalan dengan pundamen-pundamen yang telah
ditentukan.
Bogoslousky, mengutarakan disamping menegaskan bahwa kurikulum
dapat terhindar dari adanya pemisahan mata pelajaran yang satu dengan yang
lain. Menurutnya kurikulum diumpamakan sebagai sebuah rumah yang mempunyai
empat bagian:
1.
Universum
Pengetahuan merupakan latar belakang dari adanya kekuatan segala
manifestasi hidup manusia. Diantaranya adalah adanya kekuatan- kekuatan alam,
asal- usul tatasurya dan lain-lainya. Basis pengetahuan ini adalah ilmu
pengetahuan alam kodrat yang diperluas.
2.
Siviliasi (peradapan)
Karya yang
dihasilkan manusia sebagai akibat hidup masyarakat. Dengan siviliasi manusia
mampu mengadakan pengawasan terhadap lingkunganya, mengejar kebutuhan dan hidup
aman dan sejahtera.
3.
Kebudayaan
Kebudayaan
merupakan karya manusia yang mencangkup di antaranya filsafat, kesenian,
kesusastraan, agama, penapsiran dan penilaian mengenai lingkungan.
4.
kepribadian
Bagian yang
bertujuan pembentukan kepribadian dalam arti riil yang tidak bertentangan
dengan kerpibadian yang ideal. Dalam kurikulum hendaklah diusahakan agar
faktor- faktor fisik, fisikis, emosional dan spiritual sebagai keseluruhan yang
dapat berkembang secara harmonis dan organis, sesuai kdengan kemanusiaan yang
ideal.
Robert Ulich berpendapat bahwa
meskipun pada hakekatnya kurikulum disusun secara fleksibel karena perlu
mendasarkan atas pribadi anak, fleksibikitas tidak dapat diterapkan pada
pemahaman mengenai agama dan alam semesta. Untuk itu perlu diadakan perencanaan
dengan keseksamaan dan kepastian.[11]
DAFTAR FUSTAKA
Teguh Wangsa Ghandi, “Mazhab-mazhab
Filsafat Pendidikan”, (Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2011)
Imam Barnadib, ‘’ Filsafat Pendidikan ‘’ (Yogyakarta: Andi Offset,
1988)
Abdullah Ldi, “Filsafat Pendidikan,
Manusia, Filsafat dan Pendidikan”. (Jakarta: Gaya Media Pratama, 1997)
Muhmidayeli, filsafat
pendidikan Islam,( Yogyakarta:Aditya media, 2005)
Hamdani Ali, Filsafat pendiikan, (Yogyakarta :
kota kembang, 1993)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar