Senin, 30 April 2012

IMPLEMENTASI ALIRAN ESENSIALISME DI INDONESIA


Esensialisme kerap diungkap sebagai reaksi kedua terhadap progresivisme taahun 1930-an. Dengan alasan yang hampir sama dengan kalangan perenialisme, kalangan esensialisme menilai praktik progresivisme telah melahirkan praktik pendidikan yang gagal, teruama karena upaya progresivisme di dalam menjadikan pendidikan sebagai usaha belajar tanpa penderitaan karena dipandang cenderung aristokratis dan antidemokratis.[1]
Esensialisme adalah pendidikan yang di dasarkan kepada nilai-nilai kebudayaan yang telah ada sejak awal peradaban manusia. Esensialisme muncul pada zaman Renaisance dengan ciri-ciri utama yang berbeda dengan progresivisme. Progresivisme berpandangan behwa banyak hal itu mempunyai sifat yang serba fleksibel dan nilai-nilai itu berubah dan berkembang. Sedangkan esensialisme menganggap bahwa pijakan semacam ini kurang tepat, karena dalam pendidikan itu sifat fleksibilitas dalam segala bentuk dapat menjadi sumber timbulnya pandangan yang berubah-rubah, sehingga pelaksanaanya menjadi tidak stabil dan tidak menentu[2]. Oleh karena itu  esensialisme memandang bahwa pendidikan harus berpijak pada nilai-nilai yang memiliki kejelasan dan tahan lama yang memberikan kesetabilan dan nilai-nilai terpilih yang mempunyai tata yang jelas (zuhairini, 1991: 21).[3]
Essensislisme suatu aliran filsafat yang lebih merupakan perpaduan ide filsafat idealisme objektif di satu sisi dan realisme objektif di sisi lainnya. Oleh karena itu wajar jika ada yang mengatakan Platolah sebagai peletak asas-asas filosofis aliran ini, ataupun Aristoteles dan Democratos sebagai peletak dasar-dasarnya. Kendatipun aliran ini kemunculan aliran ini di dasari oleh pemikiran filsafat idealisme Plato dan realisme Aristoteles, namun bukan berarti kedua aliran ini lebur kedalam paham esensialisme[4]. Aliran filsafat essensialisme pertama kali muncul sebagai reaksi atas simbolisme mutlak dan dogmatisme abad pertengahan. Filsafat ini menginginkan agar manusia kembali kepada kebudayaan lama karena kebudayaan lama telah banyak melakukan kebaikan untuk manusia.[5]
Idealisme dan realisme adalah aliran filsafat yang membentuk corak esensialisme. Dua aliran ini bertemu sebagai pendukung esensialisme, akan tetapi kedua aliran tersebut tidak melebur menjadi satu dan tidak melepaskan sifat utamanya pada dirinya masing-masing.
A.    Kontribusi Realisme dan Idealisme kepada Esensialisme
1.      Realisme
Realisme memberi dukungan kepada esenialisme berupa pandangan yang sistematis mengenai alam serta tampat manusia didalamnya. Ilmu pengetahuan yang mempengaruhi aliran realisme dapat dilihat dari fisika dan ilmu-ilmu lain yang dapat dipahami berdasarkan adanya tata dan jalan yang husus. Dengan demikian berarti bahwa suatu kejadian yang paling sederhana pun dapat ditafsirkan menurut hukum alam, seperti contoh daya tarik bumi bisa diketahui berdasarkan tata dan jalan yang jelas ilmu Geografi.
2.      Idealisme
Idealisme memberi dukungan terhadap sensialisme berupa idealisme objektif yang mempunyai pandangan kosmis yang lebih optimis dibandingkan dengan realisme obyektif. Maksudnya adalah bahwa pandangan-pandanganya bersifat menyeluruh yang boleh dikatakan meliputi segala sesuatu. Dengan landasan pikiran bahwa totalitas dalam alam semesta ini pada hakikanya adalah jiwa atau spirit, idealisme menetapkan suatu pendirian bahwa sesuatu yang ada ini adalah nyata.
Intinya adalah realisme menitik beratkan  tijauanya mengenai alam dan dunia fisik sedangkan idealisme menitik beratkan pandanganya kepada spiritualitas. George Wilhelm Friedrich (1770-1831) mengemukakan adanya sintesis antarara ilmu pengetahuan (realisme) dan agama (idealisme) menjadi suatu pemahaman yang menggunakan landasan spiritual.[6]

B.     Pandangan Ontologi Esensialisme
Sifat yang menonjol dari ontologi esensialisme adalah suatu konsep bahwa dunia ini dikuasai oleh tata yang tiada cela, yang mengatur isinya dengan tiada cela pula. Pendapat ini berarti bahwa bagaimana bentuk, sifat, kehendak dan cita-cita manusia haruslah disesuaikan dengan tata alam yang ada.[7] Tujuan umum pandangan ini adalah membentuk pribadi bahagia di dunia dan di akhirat. Sedangkan isi pendidikanya mencangkup ilmu pengetahuan, kesenian dan segala hal yang mampu menggerakan kehendak manusia.
C.    Pandangan Epistimologi Esensialisme
Teori k\teori kepribadian manusia sebagai refleksi Tuhan adalah jalan untuk mengerti epistimologi esensialisme. Sebab jika manusia mampu menyadari realitanya sebagau mikrokosmos dan maksokosmos. Maka manusia pasti mengetahui dalam tingkat atau kualitas rasionya mampu memikirkan kesemestianya. Berdasarkan kualitas inilah dia mampu memproduksi secara tepat pengetahuanya dalam benda-benda, ilmu alam, sosial dan agama.[8]
D.    Pandangan Aksiologi Esensialisme
Pndangan ontologi dan epistimologi sangat mempengeruhi pandangan aksiologi. Bagi aliran ini, nilai- nilai berasal tergantung pandangan- pandangan idealisme dan realisme sebab esensialisme terbina oleh kedua syarat tersebut.
1.      Teori Nilai Menurut idealisme
Penganut idealisme berpegangan bahwa hukum-hukum etika adalah hukum kosmos, karena itu seseorang dikatakan baik jika banyak berinterakifdalam melaksanakan hukum- hukum itu. Menurut idealisme bahwa sikap, tingkah laku dan ekspresi perasaan juga mempunyai hubungan dengan kualitas baik dan buruk. Seperti orang yang berpakaian serba formal seperti dalam upacara, haruslah oramg tersebut bersikaf formal dan teratur pula.
2.      Teori Nilai Menurut Realisme
Perinsip realisme tentang tentang etika ialah melalui asas ontologi bahwa sumber semua pengetahuan manusia terletak pada masalah baik-buruk khususnya dan keadaan manusia pada umumnya. Perbuatan seseorang adalah hasil perpaduan yang timbul sebagai akibat adanya saling hubungan antara pembawa- pembawa fisiologis dan pengaruh- pengaruh dari lingkungan.[9]


E.     Pndangan Esensialisme Mengenai Belajar
Idealisme sebagai filsafat hidup, memulai tinjauanya mengenai pribadi individu dengan menitik beratkan kepada aku. Menurut idealisme, bila seseorang itu belajar pada taraf permulaan adalah memahami akunya sendiri, terus bergerak memahami dunia obyektif dari mikrokosmos menuju makrokosmos.
Pandangan Immanuel Kant mengatakan bahwa segala pengetahuan yang dicapai oleh manusia melalui indra memerlukan unsur apriori yang tidak didahului oleh pengalaman lebih dulu. Bila seseorang berhadapan benda-benda, tidak berarti bahwa mereka itu sudah mempunyai bentuk, ruang dan ikatan waktu. Bentuk, ruang dan waktu sudah ada pada budi manusia sebelum ada pengalaman atau pengamatan. Jadi apriori yang terarah bukanlah budi kepada benda, tetapi benda-benda itu yang terarah kepada budi. Budi membentuk, mengatur dalam ruang dan waktu.
Dengan mengambil landasan fikir tersebut, belajar dapat didefinisikan sebagai jiwa yang berkembang pada sendirinya sebagai substansi spiritual. Jiwa membina dan menciptakan diri sendiri (Poedjawijatna 1983: 120-121). Dengan demikian pandangan- pandangan realisme mencerminkan adanya dua jenis determinasi mutlak dan terbatas:
1.      Determinisme mutlak,menunjukan bahwa belajar  adalah mengalami hal- hal yang tidak dapat di halang-halangi adanya, jadi harus ada yang membentuk dunia ini. Pengenalan ini perlu diikuti oleh penyesuaian supaya  dapat tercipta suasana hidup yang harmonis.
2.      Determinisme terbatas, memberikan gambaran kurangnya sifat fasif mengenai belajar. Bahwa meskipun pengenalan terhadap hal- hal yang mendorong kearah timbulnya orang lain (kausatif) di dunia ini, berarti tidak dimungkinkan adanya penguasaan terhadap mereka, namun kemampuan akan pengawasan diperlukan.[10]

F.      Pandangan  Esensialisme Mengenai Kurikulum
Herman arrel Horne mengatakan bahwa hendaknya kurikulum itu bersendikan aas pundamen tunggal, yaitu watak manusia yang ideal dan ciri- ciri masyarakat yang ideal. Kegiatan dalam pendidikan perlu disesuaikan dan ditujukan kepada yang serba baik. Atas ketentuan ini kegiatan dan keaktifan anak didik tidak terkekang, asalkan sejalan dengan pundamen-pundamen yang telah ditentukan.

Bogoslousky, mengutarakan disamping menegaskan bahwa kurikulum dapat terhindar dari adanya pemisahan mata pelajaran yang satu dengan yang lain. Menurutnya kurikulum diumpamakan sebagai sebuah rumah yang mempunyai empat bagian:
1.      Universum
Pengetahuan merupakan latar belakang dari adanya kekuatan segala manifestasi hidup manusia. Diantaranya adalah adanya kekuatan- kekuatan alam, asal- usul tatasurya dan lain-lainya. Basis pengetahuan ini adalah ilmu pengetahuan alam kodrat yang diperluas.
2.      Siviliasi (peradapan)
Karya yang dihasilkan manusia sebagai akibat hidup masyarakat. Dengan siviliasi manusia mampu mengadakan pengawasan terhadap lingkunganya, mengejar kebutuhan dan hidup aman dan sejahtera.
3.      Kebudayaan
Kebudayaan merupakan karya manusia yang mencangkup di antaranya filsafat, kesenian, kesusastraan, agama, penapsiran dan penilaian mengenai lingkungan.
4.      kepribadian
Bagian yang bertujuan pembentukan kepribadian dalam arti riil yang tidak bertentangan dengan kerpibadian yang ideal. Dalam kurikulum hendaklah diusahakan agar faktor- faktor fisik, fisikis, emosional dan spiritual sebagai keseluruhan yang dapat berkembang secara harmonis dan organis, sesuai kdengan kemanusiaan yang ideal.
Robert Ulich berpendapat bahwa meskipun pada hakekatnya kurikulum disusun secara fleksibel karena perlu mendasarkan atas pribadi anak, fleksibikitas tidak dapat diterapkan pada pemahaman mengenai agama dan alam semesta. Untuk itu perlu diadakan perencanaan dengan keseksamaan dan kepastian.[11]



DAFTAR FUSTAKA
Teguh Wangsa Ghandi, “Mazhab-mazhab Filsafat Pendidikan”, (Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2011)
Imam Barnadib, ‘’ Filsafat Pendidikan ‘’ (Yogyakarta: Andi Offset, 1988)
Abdullah Ldi, “Filsafat Pendidikan, Manusia, Filsafat dan Pendidikan”. (Jakarta: Gaya Media Pratama, 1997)
 Muhmidayeli, filsafat pendidikan Islam,( Yogyakarta:Aditya media, 2005)
Hamdani Ali, Filsafat pendiikan, (Yogyakarta : kota kembang, 1993)



[1] Teguh Wangsa Ghandi, “Mazhab-mazhab Filsafat Pendidikan”. Hlm 159
[2] Imam Barnadib, ‘’ Filsafat Pendidikan ‘’ hlm 38
[3] Abdullah Ldi, “Filsafat Pendidikan, Manusia, Filsafat dan Pendidikan”. Hlm 81
[4] Muhmidayeli, filsafat pendidikan Islam,hlm.184
[5] B.Hamdani Ali, Filsafat pendiikan,hlm. 116
[6] Abdullah Ldi, “Filsafat Pendidikan, Manusia, Filsafat dan Pendidikan”. . hlm 83
[7] Ibid. hlm 82
[8] Ibid. hlm 84
[9] Ibid. hlm 87
[10] Ibid. hlm 88
[11] Ibid Hlm 88-89

Tidak ada komentar:

Posting Komentar