Senin, 30 April 2012

Menikahi Wanita di Bawah Umur


BAB II
PERNIKAHAN DIUSIA DINI

Mencuatnya kasus Pujiono Cahyo Widianto (Syekh Puji) di desa Bendono yang menikahi anak perempuan berusia 12 tahun, yang dalam anggapan UU Perkawinan (minimal 16 tahun) dan UU Perlindungan Anak (minimal 18 tahun) masih di bawah umur, menuntut kita untuk melihat kembali bagaimana sebenarnya konsep fikih Islam tentang isu ini. Ini menjadi penting karena fenomena pernikahan dini ini telah begitu meluas dalam sebagian masyarakat kita.[1]
Menurut analisis banyak pakar sosial, fenomena ini terjadi karena faktor kemiskinan yang begitu tinggi dan pendidikan yang begitu rendah. Ini diperkuat oleh pernyataan UNICEF yang menegaskan bahwa kemiskinan merupakan motivasi utama dalam perkawinan dini.[2] Kedua hal ini memang saling berkait kelindan. Semakin miskin seseorang itu, maka semakin kecil peluang menikmati pendidikan, terkadang hanya sampai sekolah dasar atau paling banter, sekolah menengah pertama; atau bahkan tidak sekolah sama sekali. Sehingga menikah seolah-olah menjadi solusi terhadap kesulitan yang mereka hadapi.
Selain itu, pergaulan bebas juga dapat dianggap sebagai faktor yang menentukan bagi terjadinya perkawinan dini, apalagi dalam ruang saat ini yang corak pergaulan antara lain jenis seringkali membawa kepada perzinaan, yang ujung-ujungnya adalah kehamilan. Sehingga solusinya adalah perkawinan yang dipaksakan. Yang perlu dilihat pula dalam kaitan ini adalah bahwa faktor budaya dan agama juga tampaknya memberikan sumbangsih yang tidak kecil bagi pembolehan jenis pernikahan ini.

1.      Nikah Menurut Islam
A.    Definisi Nikah
Nikah berarti penyatuan. Diartikan juga sebagai akad atau hubungan badan. Disebut sebagai akad, karena nikah merupakan penyebab terjadinya suatu kesepakatan yang didalamnya nikah juga menjadi penyebab halalnya berhubungan badan dan boleh padanya apa yang telah dilarang sebelumnya. Al Farisi mengatakan: “ jika mereka mengatakan, bahwa sifulan atau anaknya fulan menikah, maka yang dimaksud nikah disitu adalah mengadakan akad. Akan tetapi, jika dikatakan bahwa ia menikahi istrinya, maka yang dimaksud nikah disitu adalah berhubungan badan”.[3]
B.     Hukum Nikah
1)      Nikah Wajib
Menikah itu wajib hukumnya bagi seorang yang sudah matang secara fisik, mental,  finansial dan juga beresiko jatuh ke dalam perzinaan. Hal itu disebabkan bahwa menjaga diri dari zina adalah wajib. Maka bila jalan keluarnya hanyalah dengan cara menikah, tentu saja menikah bagi seseorang yang hampir jatuh ke dalam jurang zina wajib hukumnya.
Imam Al-Qurtubi berkata bahwa para ulama tidak berbeda pendapat tentang wajibnya seorang untuk menikah bila dia adalah orang yang mampu dan takut tertimpa resiko zina pada dirinya. Dan bila dia tidak mampu, maka Allah SWT pasti akan membuatnya cukup dalam masalah rezekinya, sebagaimana firman-Nya :

Dan orang-orang yang tidak mampu kawin hendaklah menjaga kesucian (diri)nya, sehingga Allah memampukan mereka dengan karunia-Nya.
2)      Nikah Sunah
Sunnah Nikah adalah bagi  mereka yang sudah mampu namun masih untuk menjaga diri dan tidak merasa takut jatuh kepada zina. Barangkali karena memang usianya yang masih muda atau pun lingkungannya yang cukup baik dan kondusif. Orang yang punya kondisi seperti ini hanyalah disunnahkan untuk menikah, namun tidak sampai wajib. Sebab masih ada jarak tertentu yang menghalanginya untuk bisa jatuh ke dalam zina yang diharamkan Allah SWT.
Namun bila dia menikah, tentu dia akan mendapatkan keutamaan yang lebih dibandingkan dengan dia diam tidak menikahi wanita. Paling tidak, dia telah melaksanakan anjuran Rasulullah SAW untuk memperbanyak jumlah kuantitas umat Islam dan menyempurnakan ibadahnya.
3)                  Nikah Mubah
Yang mubah nikah adalah orang yang berada pada posisi tengah-tengah antara hal-hal yang mendorong keharusannya untuk menikah dengan hal-hal yang mencegahnya untuk menikah, maka bagi hukum menikah itu menjadi mubah atau boleh. Tidak dianjurkan untuk segera menikah namun juga tidak ada larangan atau anjuran untuk mengakhirkannya. Pada kondisi tengah-tengah seperti ini, maka hukum nikah baginya adalah mubah.
4)                  Nikah Haram
Secara garis besar, ada dua hal utama yang membuat seseorang menjadi haram untuk menikah. Pertama, tidak mampu memberi nafkah. Kedua, tidak mampu melakukan hubungan seksual (lemah syahwat). Kecuali bila dia telah berterus terang sebelumnya dan calon istrinya itu mengetahui dan menerima keadaannya.
Selain itu juga bila dalam dirinya ada cacat pisik lainnya yang secara umum tidak akan diterima oleh pasangannya. Seperti orang yang terkena penyakit menular yang bila dia menikah dengan seseorng akan beresiko menulari pasangannya itu dengan penyakit. Maka untuk bisa menjadi halal dan dibolehkan menikah, haruslah sejak awal dia berterus terang atas kondisinya itu dan harus ada persetujuan dari calon pasangannya. Termasuk menikahi wanita yang haram dinikahi (mahram), wanita yang punya suami, wanita yang berada dalam masa iddah.
5)                  Nikah Makruh

Orang yang tidak punya penghasilan sama sekali dan tidak sempurna kemampuan untuk berhubungan seksual, hukumnya makruh bila menikah. Namun bila calon istrinya rela dan punya harta yang bisa mencukupi hidup mereka, maka masih dibolehkan bagi mereka untuk menikah meski dengan karahiyah. Sebab idealnya bukan wanita yang menanggung beban dan nafkah suami, melainkan menjadi tanggung jawab pihak suami.

             Maka pernikahan itu makruh hukumnya sebab berdampak dharar bagi pihak wanita. Apalagi bila kondisi demikian berpengaruh kepada ketaatan dan ketundukan istri kepada suami, maka tingkat kemakruhannya menjadi jauh lebih besar.

C.    Menikahi Wanita di Bawah Umur Menurut Pandangan Islam

  Menikahi atau menikahkan perempuan di bawah umur, sebelum haid atau usia 15 tahun, dalam pandangan Islam sah. Dalam hal ini, tidak ada ikhtilaf di kalangan ulama’. Demikian, penjelasan Ibn Mundzir, sebagaimana yang dikutip oleh Ibn Qudamah. Dalam penjelasannya, Ibn Mundzir menyatakan:
“Semua ahli ilmu, yang pandangannya kami hapal, telah sepakat, bahwa seorang ayah yang menikahkan anak gadisnya yang masih kecil hukumnya mubah (sah).”[4]
Dalam banyak kitab fikih, memang disebutkan adanya kebolehan perkawinan yang dilakukan oleh seorang perempuan yang dianggap sudah balig, meskipun belum cukup umur, karena faktor balig bagi perempuan itu tidak tergantung usia, tapi tergantung pada haid. Bahkan, bapak, atau kakek sebagai wali mujbir boleh mengawinkan puteri/cucunya yang masih gadis tanpa harus mendapatkan persetujuan dari diri perempuan yang akan dinikahkannya, asalkan ia bukan janda.
Konsep wali mujbir ini dikenal dalam mazhab Syafi’i, namun dengan beberapa persyaratan:
         Tidak ada permusuhan (kebencian) perempuan itu terhadap laki-laki calon suaminya.
         Tidak ada permusuhan (kebencian) perempuan itu terhadap ayahnya.
          Calon suami haruslah orang yang se-kufu’ (setara/sebanding).
         Mas kawin (mahar) harus tidak kurang dari mahr mithl, yakni mas kawin perempuan lain yang setara.
         Calon suami diduga tidak akan melakukan perbuatan atau tindakan yang akan menyakiti hati perempuan itu.[5]
Selain itu, juga hadits yang dituturkan oleh Aisyah  Ra, dari Hisyam, dari ayahnya (‘Urwah), yang menyatakan:
تَزَوَّجَنِي النَّبِيُّ وَأَنَا اِبْنَةُ سِتٍّ، وَبَنَي بِيْ وَأَنَا ابْنَةُ تِسْعٍ (متفق عليه)
“Saya dinikahi oleh Nabi saw. ketika saya gadis berusia enam tahun, dan baginda membawa saya, ketika saya berusia sembilan tahun.” (H.r. Muttafaq ‘Alaih). [6]

D.    Dampak Pernikahan diusia Dini
Kita mendengar berita diberbagai media tentang kyai kaya yang menikahi anak perempuan yang masih belia berumur 12 tahun. Berita ini menarik perhatian khalayak karena merupakan peristiwa yang tidak lazim. Apapun alasannya, perkawinan tersebut dari tinjauan berbagai aspek sangat merugikan kepentingan anak dan sangat membahayakan kesehatan anak akibat dampak perkawinan dini atau perkawinan di bawah umur. Berbagai dampak pernikahan dini atau perkawinan dibawah umur dapat dikemukakan sebagai berikut:
A. Dampak terhadap hukum.
Adanya pelanggaran terhadap 2 Undang-undang di negara kita yaitu:
         UU No. 1 tahun 1974 tentang perkawinan pasal 7 (1) Perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 tahun. Pasal 6 (2) Untuk melangsungkan perkawinan seorang yang belum mencapai umur 21 tahun harus mendapat izin kedua orang tua.
         UU No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak
Pasal 26 (1) Orang tua berkewajiban dan bertanggung jawab untuk:
a.       mengasuh, memelihara, mendidik dan melindungi anak
b.      menumbuh kembangkan anak sesuai dengan kemampuan, bakat dan minatnya.
c.       mencegah terjadinya perkawinan pada usia anak-anak.

Amanat Undang-undang tersebut di atas bertujuan melindungi anak, agar anak tetap memperoleh haknya untuk hidup, tumbuh dan berkembang serta terlindungi dari perbuatan kekerasan, eksploitasi dan diskriminasi.
B. Dampak Biologis
Anak secara biologis alat-alat reproduksinya masih dalam proses menuju kematangan sehingga belum siap untuk melakukan hubungan seks dengan lawan jenisnya, apalagi jika sampai hamil kemudian melahirkan. Jika dipaksakan justru akan terjadi trauma, perobekan yang luas dan infeksi yang akan membahayakan organ reproduksinya sampai membahayakan jiwa anak. Patut dipertanyakan apakah hubungan seks yang demikian atas dasar kesetaraan dalam hak reproduksi antara isteri dan suami atau adanya kekerasan seksual dan pemaksaan (penggagahan) terhadap seorang anak.
C.  Dampak psikologis
Secara psikis anak juga belum siap dan mengerti tentang hubungan seks, sehingga akan menimbulkan trauma psikis berkepanjangan dalam jiwa anak yang sulit disembuhkan. Anak akan murung dan menyesali hidupnya yang berakhir pada perkawinan yang dia sendiri tidak mengerti atas putusan hidupnya. Selain itu, ikatan perkawinan akan menghilangkan hak anak untuk memperoleh pendidikan (Wajar 9 tahun), hak bermain dan menikmati waktu luangnya serta hak-hak lainnya yang melekat dalam diri anak.
D. Dampak Sosial
Fenomena sosial ini berkaitan dengan faktor sosial budaya dalam masyarakat patriarki yang bias gender, yang menempatkan perempuan pada posisi yang rendah dan hanya dianggap pelengkap seks laki-laki saja. Kondisi ini sangat bertentangan dengan ajaran agama apapun termasuk agama Islam yang sangat menghormati perempuan (Rahmatan lil Alamin). Kondisi ini hanya akan melestarikan budaya patriarki yang bias gender yang akan melahirkan kekerasan terhadap perempuan.[7]
A.    Trafficking
1.      Sejarah Trafficking (Jual Beli/ Perbudakan Manusia)
Perbudakan telah terjadi pada umat terdahulu jauh sebelum Nabi Muhammad SAW diutus. Diantara salah satu sebab suburnya perbudakan waktu itu adalah seringnya terjadi peperangan antar qabilah dan bangsa, disamping disana terdapat factor lain seperti perampokan, perampasan, penculikan, kemiskinan, ketidak mampuan dalam membayar hutang dan lain sebagainya yang mana didukung pula dengan adanya pasar budak pada masa itu.
Pada zaman Nabi Ibrahim sudah terjadi perbudakan, hal ini ditunjukkan dari kisah sarah yang memberikan jariyahnya ( budak wanita) yaitu hajar kepada Nabi Ibrohim A’laihi Salam untuk dinikahi[8], demikian pula pada zaman Nabi Ya’qub  A’laihi Salam yang mana orang merdeka bisa menjadi budak dalam kasus  pencurian, yaitu si pencuri diserahkan kepada orang yang ia ambil hartanya untuk dijadikan budak[9]. Kemudian Islam datang mengatur perbudakan ini walaupun tidak mutlak melarangnya, akan tetapi hal yang demikian dapat mengurangi  perlahan-lahan, untuk itu Islam menganjurkan untuk membebaskan budak-budak yang beragama Islam[10], bahkan salah satu bentuk pembayaran kafarah adalah dengan membebaskan budak muslim.
Dewasa ini kita dapati maraknya eksploitasi manusia untuk dijual atau biasa disebut dengan Human Trafficking, terutama pada wanita untuk perzianaan atau dipekerjakan tanpa upah dan lainnya, ada juga pada bayi yang baru dialahirkan untuk tujuan adopsi yang tentunya ini semua tidak sesuai dengan syari’ah dan  norma-norma yang berlaku (‘urf), kemudian bila kita tinjau ulang ternyata manusia-manusia tersebut bersetatus Hur (merdeka).
2.      Pandangan Fiqh Islam Tentang perdagangan manusia merdeka
Hukum dasar muamalah perdagangan adalah mubah kecuali  yang diharamkan dengan nash  atau disebabkan Ghoror ( penipuan). Dalam kasus perdagangan manusia ada dua jenis yaitu manusia merdeka ( hur ) dan manusia budak (‘abd /amah). Dalam pembahasan ini akan kami sajikan  dalil-dalil tentang hukum perdagangan pada manusia merdeka saja. Yang mana hal ini akan kami ambilkan dari Al qur’an dan sunah serta beberapa pandangan ahli fiqh dari berbagai madzhab tentang masalah ini
         Dalil Al Qur’an
وَلَقَدْ كَرَّمْنَا بَنِي آدَمَ وَحَمَلْنَاهُمْ فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ وَرَزَقْنَاهُم مِّنَ الطَّيِّبَاتِ وَفَضَّلْنَاهُمْ عَلَى كَثِيرٍ مِّمَّنْ خَلَقْنَا تَفْضِيلاً
Dan sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam, Kami angkut mereka di daratan dan di lautan , Kami beri mereka rezki dari yang baik-baik dan Kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan makhluk yang telah Kami ciptakan. (QS Al Isra’ : 70)
Sudut pandang pengambilan hukum dari ayat ini adalah; bahwa  kemuliaan manusia yang Allah ta’ala berikan kepada mereka yaitu dengan dikhususkannya beberapa nikmat yang tidak diberikan kepada makhluk yang lain sebagai penghormatan untuk manusia, kemudian dengannya mendapatkan Taklif syari’ah seperti yang telah dijelaskan oleh mufassirin dalam penafsiran ayat tersebut diatas, maka hal tersebut mengharuskan bahwa manusia tidak direndahkan dengan cara disamakan dengan barang dagangan, semisal hewan atau yang lainnya yang dapat dijual belikan. Kata Imam Al Qurtuby dalam tafsir ayat ini “dan juga manusia dimuliakan disebabkan mereka mencari harta untuk dimiliki secara pribadi tidak seperti hewan”[11]
         Dalil dari As Sunnah
Dalam sebuah hadits Qudsi disebutkan bahwa Allah SWT mengancam keras Pebisnis manusia merdeka ini denga ancaman permusuhan dihari Qiamat , diriwayat oleh Imam Bukhari dan ImamAhmad dari hadits Abu Hurairah:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ : قَالَ اللَّهُ: ثَلَاثَةٌ أَنَا خَصْمُهُمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ رَجُلٌ أَعْطَى بِي ثُمَّ غَدَرَ ، وَرَجُلٌ بَاعَ حُرًّا فَأَكَلَ ثَمَنَهُ، وَرَجُلٌ اسْتَأْجَرَ أَجِيرًا فَاسْتَوْفَى مِنْهُ وَلَمْ يُعْطِ أَجْرَهُ.
Dari Abu Hurairah Radhiallahu ‘anhu dari Nabi Salallahu alaihi wa salam bersabda: Allah Ta’ala berfirman: ” Tiga golongan yang Aku sengketa mereka dihari Qiamat; seorang yang   bersumpah atas nama-Ku lalu ia tidak menepatinya, dan seseorang  yang menjual manusia merdeka dan memakan harganya, dan seseorang  yang menyewa tenaga seorang pekerja kemudian ia selesaikan pekerjaan itu akan teteapi tidak membayar upahnya.[12]
Dalam masalah ini Ulama’ bersepakat atas haramnya menjual orang yang merdeka (Baiul Hur), dan setiap akad yang mengarah kesitu maka dianggap akad yang tidak sah, serta pelakunya berdosa.
Diantara pendapat ulama-ulama yaitu;
  1. Hanafiyah
Berkata Ibnu Abidin” Anak adam dimuliakan menurut syari’ah, walaupun ia kafir sekalipun (jika bukan tawanan perang), maka akad atasnya dan penjualannya serta penyamaannya dengan benda adalah perendahan martabat manusia, dan ini tidak diperbolehkan”


  1. Malikiyah
Berkata  Al Hatthob Ar Ru’ainy; ” Apa saja yang tidak sah untuk dimiliki maka tidak sah pula untuk dijual menurut ijma’ ulama’ , seperti orang merdeka , khamr,  kera,  bangkai dan semisalnya”.
  1. Syafi’iyyah
Abu Ishaq Syairazy dan  Imam Nawawi  menashkan; bahwa menjual orang merdeka haram dan bathil berdasarkan hadist tersebut diatas. Ibnu Hajar menyatakan bawa perdagangan manusia merdeka adalah haram  menurut ijama’ ulama’.
  1. Hanabilah
Ulama’ hanabilah menegaskan batalnya baiul hur ini dengan dalil hadits tersebut diatas dan mengatakan bahwa jual beli ini tidak pernah dibolehkan dalam Islam, diantaranya adalah Ibnu Qudamah, Ibnu Muflih Al Hanbaly, Mansur Bin Yunus Albahuthy .
  1. Dzohiriyyah
Dalam madzahab ini menyebutkan bahwa “setiap jenis yang haram dimakan dagingnya maka haram untuk dijual”.[13]



[2]  UNICEF, Early Marriage: Child Spouses (Florence: Innocenti Research Center, 2000)

[3] Syekh Kamil Muhammad ‘Uwaidah, Fiqih Wanita, hlm 375
[4] Lihat, Ibn Qudamah, al-Mughni, Bait al-Afkar ad-Duwaliyyah, t.t., Yordania, juz II, hal. 1600.
[5] Wahbah al-Zuhayli, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, Jilid VII, hlm 182.
[6] Bukhari, Shahih al-Bukhari, hadits no. 3681
[8] Bidayah wa Nihayah, Abu fida Ismail Ibn Katsir, Kisah kelahiran Nabi Ismail,  jilid 1 hal. 354
[9] Abu fida Ismail Ibn Katsir , Tafsir Surat Yusuf :75, Jilid 4 Hal.401
[10] Muhammad bin Ismail As Son’ani, Syarh Bulugulmarom, Jilid 4 hal 189- 195
[11] Muhammad bin Ali As Syaukani, Fathul Qodir , tafsir surat Al Isra : 70, jilid 1 Hal. 1289
[12] Shohih Bukhari  No. 2227 Dalam Kitabul Buyu’ Bab : Itsmu man ba’a hurron dan Musnad Imam Ahmad dari riwayat Abu Hurairoh
[13] Al Mubaddi’  Fisyarhi Muqni’, Abu Ishaq Ibnu muflih Al Hanbaly, Al maktab Al islamy, Cet. Bairut, jilid4. Hal. 328

Tidak ada komentar:

Posting Komentar