BAB II
PERNIKAHAN DIUSIA DINI
Mencuatnya kasus Pujiono Cahyo
Widianto (Syekh Puji) di desa Bendono yang menikahi anak perempuan berusia 12
tahun, yang dalam anggapan UU Perkawinan (minimal 16 tahun) dan UU Perlindungan
Anak (minimal 18 tahun) masih di bawah umur, menuntut kita untuk melihat
kembali bagaimana sebenarnya konsep fikih Islam tentang isu ini. Ini menjadi
penting karena fenomena pernikahan dini ini telah begitu meluas dalam sebagian
masyarakat kita.[1]
Menurut analisis banyak pakar
sosial, fenomena ini terjadi karena faktor kemiskinan yang begitu tinggi dan
pendidikan yang begitu rendah. Ini diperkuat oleh pernyataan UNICEF yang
menegaskan bahwa kemiskinan merupakan motivasi utama dalam perkawinan dini.[2]
Kedua hal ini memang saling berkait kelindan. Semakin miskin seseorang itu,
maka semakin kecil peluang menikmati pendidikan, terkadang hanya sampai sekolah
dasar atau paling banter, sekolah menengah pertama; atau bahkan tidak sekolah
sama sekali. Sehingga menikah seolah-olah menjadi solusi terhadap kesulitan
yang mereka hadapi.
Selain itu, pergaulan bebas juga
dapat dianggap sebagai faktor yang menentukan bagi terjadinya perkawinan dini,
apalagi dalam ruang saat ini yang corak pergaulan antara lain jenis seringkali
membawa kepada perzinaan, yang ujung-ujungnya adalah kehamilan. Sehingga
solusinya adalah perkawinan yang dipaksakan. Yang perlu dilihat pula dalam
kaitan ini adalah bahwa faktor budaya dan agama juga tampaknya memberikan
sumbangsih yang tidak kecil bagi pembolehan jenis pernikahan ini.
1.
Nikah Menurut Islam
A.
Definisi Nikah
Nikah berarti penyatuan. Diartikan
juga sebagai akad atau hubungan badan. Disebut sebagai akad, karena nikah
merupakan penyebab terjadinya suatu kesepakatan yang didalamnya nikah juga
menjadi penyebab halalnya berhubungan badan dan boleh padanya apa yang telah
dilarang sebelumnya. Al Farisi mengatakan: “ jika mereka mengatakan, bahwa
sifulan atau anaknya fulan menikah, maka yang dimaksud nikah disitu adalah
mengadakan akad. Akan tetapi, jika dikatakan bahwa ia menikahi istrinya, maka
yang dimaksud nikah disitu adalah berhubungan badan”.[3]
B.
Hukum Nikah
1)
Nikah Wajib
Menikah itu wajib hukumnya bagi seorang
yang sudah matang secara fisik, mental, finansial
dan juga beresiko jatuh ke dalam perzinaan. Hal itu disebabkan bahwa menjaga
diri dari zina adalah wajib. Maka bila jalan keluarnya hanyalah dengan cara
menikah, tentu saja menikah bagi seseorang yang hampir jatuh ke dalam jurang
zina wajib hukumnya.
Imam Al-Qurtubi berkata bahwa para
ulama tidak berbeda pendapat tentang wajibnya seorang untuk menikah bila dia
adalah orang yang mampu dan takut tertimpa resiko zina pada dirinya. Dan bila
dia tidak mampu, maka Allah SWT pasti akan membuatnya cukup dalam masalah
rezekinya, sebagaimana firman-Nya :
Dan orang-orang yang tidak mampu
kawin hendaklah menjaga kesucian (diri)nya, sehingga Allah memampukan mereka
dengan karunia-Nya.
2)
Nikah Sunah
Sunnah Nikah adalah bagi mereka yang sudah mampu namun masih untuk
menjaga diri dan tidak merasa takut jatuh kepada zina. Barangkali karena memang
usianya yang masih muda atau pun lingkungannya yang cukup baik dan kondusif.
Orang yang punya kondisi seperti ini hanyalah disunnahkan untuk menikah, namun tidak
sampai wajib. Sebab masih ada jarak tertentu yang menghalanginya untuk bisa
jatuh ke dalam zina yang diharamkan Allah SWT.
Namun bila dia menikah, tentu dia
akan mendapatkan keutamaan yang lebih dibandingkan dengan dia diam tidak
menikahi wanita. Paling tidak, dia telah melaksanakan anjuran Rasulullah SAW
untuk memperbanyak jumlah kuantitas umat Islam dan menyempurnakan ibadahnya.
3)
Nikah Mubah
Yang mubah nikah adalah orang yang
berada pada posisi tengah-tengah antara hal-hal yang mendorong keharusannya untuk
menikah dengan hal-hal yang mencegahnya untuk menikah, maka bagi hukum menikah
itu menjadi mubah atau boleh. Tidak dianjurkan untuk segera menikah namun juga
tidak ada larangan atau anjuran untuk mengakhirkannya. Pada kondisi
tengah-tengah seperti ini, maka hukum nikah baginya adalah mubah.
4)
Nikah Haram
Secara garis besar, ada dua hal
utama yang membuat seseorang menjadi haram untuk menikah. Pertama, tidak mampu
memberi nafkah. Kedua, tidak mampu melakukan hubungan seksual (lemah syahwat).
Kecuali bila dia telah berterus terang sebelumnya dan calon istrinya itu
mengetahui dan menerima keadaannya.
Selain itu juga bila dalam dirinya
ada cacat pisik lainnya yang secara umum tidak akan diterima oleh pasangannya. Seperti
orang yang terkena penyakit menular yang bila dia menikah dengan seseorng akan
beresiko menulari pasangannya itu dengan penyakit. Maka untuk bisa menjadi
halal dan dibolehkan menikah, haruslah sejak awal dia berterus terang atas
kondisinya itu dan harus ada persetujuan dari calon pasangannya. Termasuk
menikahi wanita yang haram dinikahi (mahram), wanita yang punya suami, wanita
yang berada dalam masa iddah.
5)
Nikah Makruh
Orang yang tidak punya penghasilan sama sekali dan tidak sempurna
kemampuan untuk berhubungan seksual, hukumnya makruh bila menikah. Namun bila
calon istrinya rela dan punya harta yang bisa mencukupi hidup mereka, maka
masih dibolehkan bagi mereka untuk menikah meski dengan karahiyah. Sebab
idealnya bukan wanita yang menanggung beban dan nafkah suami, melainkan menjadi
tanggung jawab pihak suami.
Maka pernikahan itu makruh hukumnya sebab berdampak dharar bagi pihak wanita. Apalagi bila kondisi demikian berpengaruh kepada ketaatan dan ketundukan istri kepada suami, maka tingkat kemakruhannya menjadi jauh lebih besar.
C.
Menikahi Wanita di Bawah Umur Menurut Pandangan Islam
Menikahi atau menikahkan perempuan
di bawah umur, sebelum haid atau usia 15 tahun, dalam pandangan Islam sah.
Dalam hal ini, tidak ada ikhtilaf di kalangan ulama’. Demikian,
penjelasan Ibn Mundzir, sebagaimana yang dikutip oleh Ibn Qudamah. Dalam
penjelasannya, Ibn Mundzir menyatakan:
“Semua ahli
ilmu, yang pandangannya kami hapal, telah sepakat, bahwa seorang ayah yang
menikahkan anak gadisnya yang masih kecil hukumnya mubah (sah).”[4]
Dalam banyak
kitab fikih, memang disebutkan adanya kebolehan perkawinan yang dilakukan oleh
seorang perempuan yang dianggap sudah balig, meskipun belum cukup umur, karena
faktor balig bagi perempuan itu tidak tergantung usia, tapi tergantung pada
haid. Bahkan, bapak, atau kakek sebagai wali mujbir boleh mengawinkan
puteri/cucunya yang masih gadis tanpa harus mendapatkan persetujuan dari diri
perempuan yang akan dinikahkannya, asalkan ia bukan janda.
Konsep wali mujbir ini dikenal dalam
mazhab Syafi’i, namun dengan beberapa persyaratan:
•
Tidak ada permusuhan (kebencian) perempuan itu terhadap laki-laki
calon suaminya.
•
Tidak ada permusuhan (kebencian) perempuan itu terhadap ayahnya.
•
Calon suami haruslah orang
yang se-kufu’
(setara/sebanding).
•
Mas kawin (mahar) harus tidak kurang dari mahr
mithl, yakni mas kawin perempuan lain yang setara.
•
Calon suami diduga tidak akan melakukan perbuatan atau tindakan
yang akan menyakiti hati perempuan itu.[5]
Selain
itu, juga hadits yang dituturkan oleh Aisyah Ra, dari Hisyam, dari ayahnya (‘Urwah), yang
menyatakan:
تَزَوَّجَنِي النَّبِيُّ وَأَنَا
اِبْنَةُ سِتٍّ، وَبَنَي بِيْ وَأَنَا ابْنَةُ تِسْعٍ (متفق عليه)
“Saya dinikahi oleh Nabi saw. ketika
saya gadis berusia enam tahun, dan baginda membawa saya, ketika saya berusia
sembilan tahun.” (H.r. Muttafaq ‘Alaih). [6]
D.
Dampak Pernikahan diusia Dini
Kita mendengar berita diberbagai
media tentang kyai kaya yang menikahi anak perempuan yang masih belia berumur
12 tahun. Berita ini menarik perhatian khalayak karena merupakan peristiwa yang
tidak lazim. Apapun alasannya, perkawinan tersebut dari tinjauan berbagai aspek
sangat merugikan kepentingan anak dan sangat membahayakan kesehatan anak akibat
dampak perkawinan dini atau perkawinan di bawah umur. Berbagai dampak
pernikahan dini atau perkawinan dibawah umur dapat dikemukakan sebagai berikut:
A. Dampak terhadap hukum.
Adanya pelanggaran terhadap 2 Undang-undang di negara kita
yaitu:
•
UU No. 1 tahun 1974 tentang
perkawinan pasal 7 (1) Perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah
mencapai umur 19 tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 tahun. Pasal 6
(2) Untuk melangsungkan perkawinan seorang yang belum mencapai umur 21 tahun
harus mendapat izin kedua orang tua.
•
UU No. 23 tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak
Pasal 26
(1) Orang tua berkewajiban dan bertanggung jawab untuk:
a. mengasuh,
memelihara, mendidik dan melindungi anak
b. menumbuh
kembangkan anak sesuai dengan kemampuan, bakat dan minatnya.
c. mencegah
terjadinya perkawinan pada usia anak-anak.
Amanat
Undang-undang tersebut di atas bertujuan melindungi anak, agar anak tetap
memperoleh haknya untuk hidup, tumbuh dan berkembang serta terlindungi dari
perbuatan kekerasan, eksploitasi dan diskriminasi.
B. Dampak Biologis
Anak secara biologis alat-alat
reproduksinya masih dalam proses menuju kematangan sehingga belum siap untuk
melakukan hubungan seks dengan lawan jenisnya, apalagi jika sampai hamil
kemudian melahirkan. Jika dipaksakan justru akan terjadi trauma, perobekan yang
luas dan infeksi yang akan membahayakan organ reproduksinya sampai membahayakan
jiwa anak. Patut dipertanyakan apakah hubungan seks yang demikian atas dasar
kesetaraan dalam hak reproduksi antara isteri dan suami atau adanya kekerasan
seksual dan pemaksaan (penggagahan) terhadap seorang anak.
C. Dampak psikologis
Secara psikis anak juga belum siap
dan mengerti tentang hubungan seks, sehingga akan menimbulkan trauma psikis
berkepanjangan dalam jiwa anak yang sulit disembuhkan. Anak akan murung dan
menyesali hidupnya yang berakhir pada perkawinan yang dia sendiri tidak
mengerti atas putusan hidupnya. Selain itu, ikatan perkawinan akan
menghilangkan hak anak untuk memperoleh pendidikan (Wajar 9 tahun), hak bermain
dan menikmati waktu luangnya serta hak-hak lainnya yang melekat dalam diri
anak.
D. Dampak Sosial
Fenomena sosial ini berkaitan dengan
faktor sosial budaya dalam masyarakat patriarki yang bias gender, yang
menempatkan perempuan pada posisi yang rendah dan hanya dianggap pelengkap seks
laki-laki saja. Kondisi ini sangat bertentangan dengan ajaran agama apapun
termasuk agama Islam yang sangat menghormati perempuan (Rahmatan lil Alamin).
Kondisi ini hanya akan melestarikan budaya patriarki yang bias gender yang akan
melahirkan kekerasan terhadap perempuan.[7]
A. Trafficking
1. Sejarah
Trafficking (Jual Beli/ Perbudakan Manusia)
Perbudakan telah terjadi pada umat terdahulu jauh sebelum Nabi
Muhammad SAW diutus. Diantara salah satu sebab suburnya perbudakan waktu itu
adalah seringnya terjadi peperangan antar qabilah dan bangsa, disamping disana
terdapat factor lain seperti perampokan, perampasan, penculikan, kemiskinan,
ketidak mampuan dalam membayar hutang dan lain sebagainya yang mana didukung pula
dengan adanya pasar budak pada masa itu.
Pada zaman Nabi Ibrahim sudah terjadi perbudakan, hal ini
ditunjukkan dari kisah sarah yang memberikan jariyahnya ( budak wanita) yaitu
hajar kepada Nabi Ibrohim A’laihi Salam untuk dinikahi[8],
demikian pula pada zaman Nabi Ya’qub A’laihi Salam yang mana orang
merdeka bisa menjadi budak dalam kasus pencurian, yaitu si pencuri
diserahkan kepada orang yang ia ambil hartanya untuk dijadikan budak[9].
Kemudian Islam datang mengatur perbudakan ini walaupun tidak mutlak melarangnya,
akan tetapi hal yang demikian dapat mengurangi perlahan-lahan, untuk itu
Islam menganjurkan untuk membebaskan budak-budak yang beragama Islam[10],
bahkan salah satu bentuk pembayaran kafarah adalah dengan membebaskan budak
muslim.
Dewasa ini kita dapati maraknya eksploitasi manusia untuk dijual
atau biasa disebut dengan Human Trafficking, terutama pada wanita untuk
perzianaan atau dipekerjakan tanpa upah dan lainnya, ada juga pada bayi yang
baru dialahirkan untuk tujuan adopsi yang tentunya ini semua tidak sesuai
dengan syari’ah dan norma-norma yang berlaku (‘urf), kemudian bila kita
tinjau ulang ternyata manusia-manusia tersebut bersetatus Hur
(merdeka).
2. Pandangan
Fiqh Islam Tentang perdagangan manusia merdeka
Hukum
dasar muamalah perdagangan adalah mubah kecuali yang diharamkan dengan
nash atau disebabkan Ghoror ( penipuan). Dalam kasus perdagangan manusia
ada dua jenis yaitu manusia merdeka ( hur ) dan manusia budak (‘abd /amah).
Dalam pembahasan ini akan kami sajikan dalil-dalil tentang hukum
perdagangan pada manusia merdeka saja. Yang mana hal ini akan kami ambilkan
dari Al qur’an dan sunah serta beberapa pandangan ahli fiqh dari berbagai
madzhab tentang masalah ini
•
Dalil Al
Qur’an
وَلَقَدْ كَرَّمْنَا بَنِي آدَمَ
وَحَمَلْنَاهُمْ فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ وَرَزَقْنَاهُم مِّنَ الطَّيِّبَاتِ
وَفَضَّلْنَاهُمْ عَلَى كَثِيرٍ مِّمَّنْ خَلَقْنَا تَفْضِيلاً
Dan
sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam, Kami angkut mereka di daratan
dan di lautan , Kami beri mereka rezki dari yang baik-baik dan Kami lebihkan
mereka dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan makhluk yang telah Kami
ciptakan. (QS Al Isra’ : 70)
Sudut
pandang pengambilan hukum dari ayat ini adalah; bahwa kemuliaan manusia
yang Allah ta’ala berikan kepada mereka yaitu dengan dikhususkannya beberapa
nikmat yang tidak diberikan kepada makhluk yang lain sebagai penghormatan untuk
manusia, kemudian dengannya mendapatkan Taklif syari’ah seperti yang telah
dijelaskan oleh mufassirin dalam penafsiran ayat tersebut diatas, maka hal tersebut
mengharuskan bahwa manusia tidak direndahkan dengan cara disamakan dengan
barang dagangan, semisal hewan atau yang lainnya yang dapat dijual belikan.
Kata Imam Al Qurtuby dalam tafsir ayat ini “dan juga manusia dimuliakan disebabkan mereka
mencari harta untuk dimiliki secara pribadi tidak seperti hewan”[11]
•
Dalil
dari As Sunnah
Dalam
sebuah hadits Qudsi disebutkan bahwa Allah SWT mengancam keras Pebisnis manusia
merdeka ini denga ancaman permusuhan dihari Qiamat , diriwayat oleh Imam
Bukhari dan ImamAhmad dari hadits Abu Hurairah:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ
عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ : قَالَ اللَّهُ:
ثَلَاثَةٌ أَنَا خَصْمُهُمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ رَجُلٌ أَعْطَى بِي ثُمَّ غَدَرَ
، وَرَجُلٌ بَاعَ حُرًّا فَأَكَلَ ثَمَنَهُ، وَرَجُلٌ اسْتَأْجَرَ أَجِيرًا
فَاسْتَوْفَى مِنْهُ وَلَمْ يُعْطِ أَجْرَهُ.
Dari Abu
Hurairah Radhiallahu ‘anhu dari Nabi Salallahu alaihi wa salam bersabda: Allah
Ta’ala berfirman: ” Tiga golongan yang Aku sengketa mereka dihari Qiamat;
seorang yang bersumpah atas nama-Ku lalu ia tidak menepatinya, dan
seseorang yang menjual manusia merdeka dan memakan harganya, dan
seseorang yang menyewa tenaga seorang pekerja kemudian ia selesaikan
pekerjaan itu akan teteapi tidak membayar upahnya.[12]
Dalam masalah
ini Ulama’ bersepakat atas haramnya menjual orang yang merdeka (Baiul
Hur), dan setiap akad yang mengarah kesitu maka dianggap akad yang
tidak sah, serta pelakunya berdosa.
Diantara
pendapat ulama-ulama yaitu;
- Hanafiyah
Berkata
Ibnu Abidin” Anak adam dimuliakan menurut syari’ah, walaupun ia kafir sekalipun
(jika bukan tawanan perang), maka akad atasnya dan penjualannya serta
penyamaannya dengan benda adalah perendahan martabat manusia, dan ini tidak
diperbolehkan”
- Malikiyah
Berkata
Al Hatthob Ar Ru’ainy; ” Apa saja yang tidak sah untuk dimiliki maka tidak sah
pula untuk dijual menurut ijma’ ulama’ , seperti orang merdeka , khamr,
kera, bangkai dan semisalnya”.
- Syafi’iyyah
Abu
Ishaq Syairazy dan Imam Nawawi menashkan; bahwa menjual orang merdeka
haram dan bathil berdasarkan hadist tersebut diatas. Ibnu Hajar menyatakan bawa
perdagangan manusia merdeka adalah haram menurut ijama’ ulama’.
- Hanabilah
Ulama’
hanabilah menegaskan batalnya baiul hur ini dengan dalil hadits
tersebut diatas dan mengatakan bahwa jual beli ini tidak pernah dibolehkan
dalam Islam, diantaranya adalah Ibnu Qudamah, Ibnu Muflih Al Hanbaly, Mansur
Bin Yunus Albahuthy .
- Dzohiriyyah
Dalam
madzahab ini menyebutkan bahwa “setiap jenis yang haram dimakan dagingnya maka
haram untuk dijual”.[13]
[1] http://kaahil.wordpress.com/2009/03/03/menikahi-wanita-dibawah-umur/,
Di akses 01-04-2011
[3] Syekh
Kamil Muhammad ‘Uwaidah, Fiqih Wanita, hlm 375
[4] Lihat,
Ibn Qudamah, al-Mughni, Bait al-Afkar
ad-Duwaliyyah, t.t., Yordania, juz II, hal. 1600.
[5] Wahbah
al-Zuhayli, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu,
Jilid VII, hlm 182.
[6] Bukhari,
Shahih
al-Bukhari, hadits no. 3681
[7] http://lusicaem.blogspot.com/2009/12/dampak-pernikahan-dini-perkawinan.html.
Di akses 01-04-2011
[8] Bidayah
wa Nihayah, Abu fida Ismail Ibn Katsir, Kisah kelahiran Nabi Ismail, jilid 1 hal. 354
[9] Abu
fida Ismail Ibn Katsir , Tafsir Surat Yusuf :75, Jilid 4 Hal.401
[10] Muhammad
bin Ismail As Son’ani, Syarh Bulugulmarom, Jilid 4 hal 189- 195
[11] Muhammad
bin Ali As Syaukani, Fathul Qodir , tafsir surat Al Isra : 70, jilid 1
Hal. 1289
[12] Shohih
Bukhari No. 2227 Dalam Kitabul Buyu’ Bab : Itsmu man ba’a hurron dan
Musnad Imam Ahmad dari riwayat Abu Hurairoh
[13] Al
Mubaddi’ Fisyarhi Muqni’, Abu Ishaq Ibnu muflih Al Hanbaly, Al maktab Al
islamy, Cet. Bairut, jilid4. Hal. 328
Tidak ada komentar:
Posting Komentar