BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Indonesia,
dengan begitu banyak bahasa, suku, agama, ras, dan berbagai kemajemukan
lainnya merupakan suatu anugerah dari Yang Maha Kuasa karena begitu banyak
perbedaan dan keunikan melalui masyarakatnya. Sehingga dengan begitu
banyaknya kemajemukan yang timbul di masyarakat tersebut, kita membutuhkan apa
yang disebut dengan akulturasi budaya agar satu sama lain bisa saling
berdampingan dalam mewujudkan misi bineka tunggal ika.
Dalam
istilah lain proses akulturasi antara Islam dan Budaya local ini kemudian
melahirkan apa yang dikenal dengan local genius, yaitu kemampuan menyerap
sambil mengadakan seleksi dan pengolahan aktif terhadap pengaruh kebudayaan
asing, sehingga dapat dicapai suatu ciptaan baru yang unik, yang tidak terdapat
di wilayah bangsa lain. Pada sisi lain local genius memiliki karakteristik
antara lain:
1. Mampu bertahan terhadap budaya luar
2. Mempunyai kemampuan mengakomodasi unsur-unsur
budaya luar
3. Mempunyai kemampuan mengintegrasi unsur
budaya luar ke dalam budaya asliu;dan
B. Rumusan
Masalah
1.
Bagaimana proses terjadinya akulturasi Islam
dan budaya dalam pranata sosial?
2. Apa wujud akulturasi islam dan
budaya lokal dalam bentuk pendidikan Islam?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Brbagai
Pengertian
1. Pengertian
Akulturasi
Menurut
pendapat Harsoyo. Akulturasi adalah fenomena yang timbul sebagai hasil
kelompok-kelompok manusia yang mempunyai kebudayaan yang berbeda-beda bertemu
dan mengadakan kontak secara langsung dan terus-menerus; yang kemudian
menimbulkan perubahan dalam pola kebudayaan yang original dari salah satu
kelompok atau kedua-duanya.[2]
2. Pengertian
Budaya
Kebudayaan
merupakan kata jadian dari kata dasar budaya. Budaya berasal dari kata
budi-daya yang asal muasalnya dari bahasa sansekerta yang dalam bahasa
Indonesianya adalah “budi-daya”. Oleh karena itu secara harfiah budaya berarti
hal-hal yang berkeitan denganpikiran dan hasil dari tenaga pikiran tersebut.[3]
Sidi Gazalba mendefinisikan kebudayaan sebagai cara berfikir dan cara merasa
yang menyatakan diri dalam seluruh segi kehidupan dari segolongan manusia yang
membentuk kesatuan sosial, dalam satu ruang dan satu waktu.[4]
3. Pengertian
Pranata Sosial
Pranata sosial adalah suatu sistem tata kelakuan dalam hubungan yang
berpusat kepada aktivitas-aktivitas untuk memenuhi berbagai kebutuhan khusus
dalam masyarakat. Pranata sosial berasal dari bahasa asing social institutions,
itulah sebabnya ada beberapa ahli sosiologi yang mengartikannya sebagai lembaga
kemasyarakatan, di antaranya adalah Soerjono Soekanto. Lembaga kemasyarakatan
diartikan sebagai himpunan norma dari berbagai tindakan yang berkisar pada
suatu kebutuhan pokok di dalam kehidupan bermasyarakat.
Dengan kata lain, pranata sosial merupakan kumpulan norma (sistem norma)
dalam hubungannya dengan pemenuhan kebutuhan pokok masyarakat. Secara umum,
pranata sosial mempunyai beberapa fungsi. Berikut ini fungsi-fungsi pranata
sosial.
B. Hubungan
Antara Agama Dan Budaya
Hubungan agama dan kebudayaan ada
dua pandangan. Yakni menurut pandangan Islam dan pandangan antropologi.
Antropologi memandang agama sebagai bidang kebudayaan, sedangkan islam
memandangnya sebagai pengkal dari tiap gerak, pikir dan tindakan manusia.
Kehidupan itu diatur oleh kebudayaan dan agama berfungsi untuk membimbing
kebudayaan supaya tidak keluar dari norma-norma ajaran Islam.[5]
Antara agama dan budaya keduanya
sama-sama melekat, seperti dari aspek keyakinan maupun aspek ibadah formal, prektik
agama akan selalu bersamaan, dan bahkan berinteraki dengan budaya. Kebudayaan
sangat berperan penting didalam terbentuknya sebuah praktik keagamaan bagi
seseorang atau masyarakat. Tidak melahirkan bermacam-macam agama, kebudayaan
inilah yang juga mempunyai andil besar bagi terbentuknya aneka ragam praktik
beragama dalam satu payung agama yang sama. Dalam kenyataan dua atau lebih
orang dengan agama yang samabelum tentu mempunyai praktik atau cara pengamalan
agama; khususnya ritual yang sama. Keragaman cara beribadah dalam satu
komunitas agama ini mudah kita dapati dalam setiap masyarakat, dengan bentuknya
macam-macam kelompok agama (baca: madzhab).[6]
C. Terjadinya
Akulturasi Islam dan Budaya Dengan Masyarakat
Terjadi proses akulturasi antara ajaran Islam
dengan masyarakat di pusat-pusat agama budaya di Indonesia. Terjadi proses “Iltibas
bainal haq wal bathil,” percampuradukan antara nilai-nilai yang datang dari
Islam dengan nilai-nilai batil yang bersumber dari ajaran-ajaran agama di pusat
agama budaya tersebut. Akulturasi Ini hanya mungkin terjadi karena
karakteristik Islam yang bersifat Universal.[7]
Proses terjadinya akulturasi
kebudayaan Islam dengan budaya pribumi, dapat dibagi menjadi dua:
1.
Fase Alami
Agama islam dengan
perangkat budayanya dibawa oleh para pedagang yang dating ke Kepulauan
Indonesia. Meskipun tujuan utamanya ialah perdagangan, tetapi tugas
menyampaikan agama tidak dapat ditinggalkan. Mereka merasa berkewajiban untuk
menyampaikanagama Islam yang biasa dilakukan pada waktu senja yaitu saat-saat
senggang dari kesibukan perdagangan. Meskipun kemahiran mereka dalam melakukan
dakwah Islamiyah berkembang secara alami, namun berhasil dengan gemilang yang
ditunjukkan dengan masuk Islam. Dalam melakukan tugas dakwahnya, mereka tidak
diganggu oleh kperluan-keperluan ekonomi. Lama-kelamaan terbentuk
kelompok-kelompok dengan bimbingan-bimbingan dari muballigh tertentu yang
kemudian tersebar secara alami.
2.
Fase organisasi
Dalam membentuk
organisasi diperlukan adanya aturan yang harus dipenuhi, seperti
keorganisasian, administrasi, komunikasi, manajemen, financial, dan sebagainya.
Kesemuanya banyak diadaptasi dari kebudayaan Barat, terutama yang sudah diambil
alih kaum muslim di Mesir dan India. Proses pembentukan organisasi yang sudah
tercampur dengan budaya Islam ini, menyebabkan terjadinya cara hidup baru yang
modern. Dalam proses modernisasi, bimbingan yang terdapat dalam al-Qur’an dan
Hadits, dikembangkan dengan pola pemikiran baru. Sehingga memunculkan
gerakan-gerakan Islam yang lebih solid.[8]
Akulturasi ajaran berkembang menjadi kebudayaan yang dapat dikelompokkan
menjadi tiga:
1.
Kebudayaan yang didominasi oleh budaya Islam yaitu akulturasi antara dua
budaya Islam dan non-Islam, tetapi yang paling menonjol ialah budaya Islam. Hal
ini dapat dilihat dalam ritual-ritual Islam seperti; peralatan yang digunakan
pada waktu salat (sajadah, tasbih, dan sebagainya), kelembagaan zakat, wakaf,
dan pengurusan pelaksanaan haji.
2.
Kebudayaan yang terdiri dari percampuran antara kedua budaya seperti;
bangunan masjid, bentuk joglo, pakaian pria ataupun mahramah untuk wanita,
lagu, kasidah, tahlil, dan sebagainya
3.
Percampuran kebudayaan yang membentuk pola atau corak kebudayaan tersendiri
ialah; sistem pemerintahan (Pancasila), sistem permusyawaratan, dan berbagai
pemikiran yang timbul dari berbagai macam pergerakan dan sebagainya.
D.
Bentuk-bentuk hasil dari
akulturasi Islam dan budaya lokal
Akulturasi islam dan budaya dalam pranata social merupakan pengaruh islam
terhadap kehidupan bangsa Indonesia terdapat diantaranya tiga kemungkinan:
1.
Ajaran islam berpengaruh sangat kuat terhadap pola hidup masyrakat.
2.
Islam dan budaya bangsa berimbang, sehingga merupakan perpaduaan yang
harmonis.
3.
Ajaran (moral) islam kurang berpengaruh, sehingga merupakan perpaduaan yang
ikut menyempurnakan moral bangsa.
Sebelum tahun 60-an, pranata social yang berupa pusat-pusat pendidikan
pesantern dijawa dan Madura lebih dikenal dengan sebutan pondok. Memang sebelum
agama islam datang di Nusantara telah ada pranata pendidikan kuno yang
bernama mandala di daerah pedesaan. Mandala inilah yang
komuniti pondok pesantren. Dengan demikian munculah sejumlah besar
dilembah-lembah sungai bengawan solodan sungai Brantas yang pada waktu itu
merupakan jalur utama di daerah lembah diantara gunung-gunung berapi
dipedalaman Jawa Tengah yang subur.[9]
Pendidikan Islam mencakup dimensi bervariasi. Mengalami internalisasi ke
dalam berbagai pranata sosial yang ada dalam masyarakat. Terjadinya proses
alokasi pendidikan Islam yang beragam menjadi landasan dan memberi makana serta
arah dalam kehidupan masyarakat. Hal ini menunjukan bahwa dalam masyarakat
terjadi produk dari pendidikan Islam yang dapat dijadikan saluran untuk mengaktualisasi
pendidikan islam dalam kehidupan.[10]
Adapun pranata-paranata sosial berbasis pendidikan Islam mempunyai
karekteristik antara lain:
1.
Pranata Peribadatan
Berfungsi untuk pemenuhan
kebutuhan manusia sebagai hamba dalam melakukan hubungan dengan Allah. Seperti
masjid, surau, mushola dan lain-lain.
2.
Pranata Kekerabatan
Berfungsi sebagai pemenuhan
kebutuhan pemeliharaan dan pengembangan keturunan juga untuk memelihara dan
mengembangkan kebudayaan secara kolektif. Untuk memenuhi kebutuhan itu
dilakukan penataan antara hubungan individu di dalam lingkungan keluarga,
sebagai organisasi sosial terkecil. Pranata ini mengalokasikan nilai dan kaidan
al-ahwal as-syakhshiyah, berkenaan dengan penerimaan anggota baru
keluarga melalui tahapan pelamaran dan perkawinan, kelahiran dan lain-lain.
3.
Pranata pendidikan
Berfungsi sebagai pemenuhan
kebutuhan dalam mengsosialisasikan keyakinan, nilai-nilai, kaidah-kaidah yang
dianut oleh generasi kepada generasi berikutnya.
4.
Pranata Keilmuan
Berfungsi sebagai pemenuhan
kebutuhan dalam mengembangkan pemahaman terhadap ayat-ayat Allah.
5.
Pranata Ekonomi
Berfungsi sebagai pemenuhan
kebutuhan dalam mengembangkan barang dan jasa dalam kehidupan bermasyarakat.
Seperti jual beli, sewa menyewa, hibah, perwakafan, dan lain-lain
6.
Pranata kesehatan
Berfungsi sebagai pemenuhan
kebutuhan dalam pemeliharaan dan perawatan kesehatan masyarakat.
7.
Pranata Kesenian
Berfungsi sebagai pemenuhan kebutuhan dalam mengembangkan seni dan ekpresi.
Hal ini merupakan bentuk ekspresi nilai-nilai keislaman dalam bentuk seni baca
Al-Qur’an, seni musik, seni sastra dan kaligrafi.[11]
Kehadiran
Islam ke nusantara tidak lepas dari nuansa, dimana Islam itu lahir. Islam mampu
beradaptasi dengan kebudayaan lokal, dimana Islam itu datang. Proses
persenyawaan keislaman dengan kenusantaraan, menjadikan Islam yang ada di
nusantara ini, mudah diterima oleh masyarakat. Tidak ada resistensi; yang ada
adalah penyambutan.Terdapat modifikasi pada injeksi nilai-nilai keislaman dalam
tradisi yang telah ada.
Dalam
perkembangannya, Islam mudah diterima sebagai agama baru.Bukti nyata dari
proses persenyawaan antara Islam dan budaya lokal dalam bidang seni dapat
ditemukan dalam bentuk karya Babad, hikayat, lontara, sastra suluk,
mitologi, qasidah rebana, gambus dan lain sebagainya. Kemudian dari segi
bentuk arsitektur bangunan-bangunan atap masjid Demak yang berlapis sembilan
“dari Meru” pra Islam, kemudian diganti oleh Sunan Kalijaga menjadi tiga yang
melambangkan Iman, Islam, dan Ihsan. Budaya selamatan, Maulid Nabi, Yasinan,
Sekaten.
E. Taman
Siswa Sebagai Bentuk Akulturasi Budaya
Tamansiswa berdiri
pada 3 juli 1922, pendirinya adalah Raden Mas Soewardi Soeryaningrat atau yang
biasa di kenal dengan Ki Hajar Dewantara. Awal pendirian tama siswa di awali
dengan ketidak pusan dengan pola pendidikan yang di lakukan oleh pemerintah
kolonial, karena jarang sekali Negara colonial yang memberikan fasilitas
pendidikan yang baik kepada Negara jajahannya. Karena seperti yang di katakana
oleh ahli sosiolog Amerika “pengajaran akan merupakan dinamit bagi system kasta
yang di pertahankan dengan keras di dalam daerah jajahan”.
Sebab itu maka di
dirikanlah Taman Siswa, berdirinya Taman Siswa merupakan tantangan terhadap
politik pengajaran kolonial dengan mendirikan pranata tandingan. Taman Siswa
adalah badan perjuangan kebudayaan dan pembangunan masyarakat yang menggunakan
pendidikan dalam arti luas untuk mencapai cita-citanya. Bagi Taman Siswa,
pendidikan bukanlah tujuan tetapi media untuk mencapai tujuan perjuangan, yaitu
mewujudkan manusia Indonesia yang merdeka lahir dan batinnya. Merdeka lahiriah
artinya tidak dijajah secara fisik, ekonomi, politik, dsb, sedangkan merdeka
secara batiniah adalah mampu mengendalikan keadaan.
Dengan proses
berdirinya Taman Siswa Ki hajar Dewantara telah mengesampingkan pendapat
revolusioner pada masa itu, tapai dengan seperti itu secara langsung usaha Ki
Hajar merupakan lawan dari politik pengajaran kolonial.lain dari pada itu
kebangkitan bangsa-bangsa yang di jajah dan perlawanan terhadap kekuasaan
kilonial umumnya disebut dengan istilah nasionalisme atau paham kebangsaan
menuju kemerdekaan. Taman Siswa mencita-citakan terciptanya pendidikan
nasional, yaitu pendidikan yang beralas kebudayaan sendiri. Dalam pelaksanaanya
pendidikan Taman Siswa akan mengikuti garis kebudayaan nasional dan berusaha
mendidik angkatan muda di dalam jiwa kebangsaan.
Pendidikan Taman
Siswa dilaksanakan berdasar Sistem Among, yaitu suatu sistem pendidikan yang
berjiwa kekeluargaan dan bersendikan kodrat alam dan kemerdekaan. Dalam sistem
ini setiap pendidik harus meluangkan waktu sebanyak 24 jam setiap harinya untuk
memberikan pelayanan kepada anak didik sebagaimana orang tua yang memberikan
pelayanan kepada anaknya.
Sistem Among
tersebut berdasarkan cara berlakunya disebut Sistem Ajarannya yang terkenal
ialah tut wuri handayani (di belakang memberi dorongan), ing madya
mangun karsa (di tengah menciptakan peluang untuk berprakarsa), ing
ngarsa sungtulada (di depan memberi teladan). Dalam sistem ini orientasi
pendidikan adalah pada anak didik, yang dalam terminologi baru disebut student
centered. Di dalam sistem ini pelaksanaan pendidikan lebih didasarkan pada
minat dan potensi apa yang perlu dikembangkan pada anak didik, bukan pada minat
dan kemampuan apa yang dimiliki oleh pendidik. Apabila minat anak didik
ternyata akan ke luar “rel” atau pengembangan potensi anak didik di jalan yang
salah maka pendidik berhak untuk meluruskannya.
Untuk mencapai
tujuan pendidikannya, Taman Siswa menyelanggarakan kerja sama yang selaras
antar tiga pusat pendidikan yaitu lingkungan keluarga, lingkungan perguruan,
dan lingkungan masyarakat. Pusat pendidikan yang satu dengan yang lain
hendaknya saling berkoordinasi dan saling mengisi kekurangan yang ada.
Penerapan sistem pendidikan seperti ini yang dinamakan Sistem Trisentra
Pendidikan atau Sistem Tripusat Pendidikan.
Pendidikan
Tamansiswa berciri khas Pancadarma, yaitu Kodrat Alam (memperhatikan
sunatullah), Kebudayaan (menerapkan teori Trikon), Kemerdekaan (memperhatikan
potensi dan minat maing-masing individu dan kelompok), Kebangsaan (berorientasi
pada keutuhan bangsa dengan berbagai ragam suku), dan Kemanusiaan (menjunjung
harkat dan martabat setiap orang).[12]
BAB III
KESEIMPULAN
masuk ke Indonesia tidak dalam tempat yang
kosong, melain telah terisi oleh budaya-budaya yang terlebih dahulu menempati
masyarakat Indonesia. Kemudian Islam datang ke Indonesia sekitar abad ke 13 dan
membentuk sebuah relasi yang mudah di terima oleh Masyarakat. Terjadi proses
akulturasi antara ajaran Islam dengan masyarakat di pusat-pusat agama budaya di
Indonesia. Terjadi proses “Iltibas bainal haq wal bathil,” percampuran
antara nilai-nilai yang datang dari Islam dengan nilai-nilai batil yang
bersumber dari ajaran-ajaran agama di pusat agama budaya tersebut. Akulturasi
Ini hanya mungkin terjadi karena karakteristik Islam yang bersifat Universal. Proses terjadinya akulturasi
kebudayaan Islam dengan budaya pribumi, dapat dibagi menjadi dua: yaitu alami
dan organisasi.
Akulturasi ajaran berkembang menjadi kebudayaan yang dapat dikelompokkan
menjadi tiga:
4.
Kebudayaan yang didominasi oleh budaya Islam yaitu akulturasi antara dua
budaya Islam dan non-Islam, tetapi yang paling menonjol ialah budaya Islam. Hal
ini dapat dilihat dalam ritual-ritual Islam seperti; peralatan yang digunakan
pada waktu salat (sajadah, tasbih, dan sebagainya), kelembagaan zakat, wakaf,
dan pengurusan pelaksanaan haji.
5.
Kebudayaan yang terdiri dari percampuran antara kedua budaya seperti;
bangunan masjid, bentuk joglo, pakaian pria ataupun mahramah untuk wanita,
lagu, kasidah, tahlil, dan sebagainya
6.
Percampuran kebudayaan yang membentuk pola atau corak kebudayaan tersendiri
ialah; sistem pemerintahan (Pancasila), sistem permusyawaratan, dan berbagai
pemikiran yang timbul dari berbagai macam pergerakan dan sebagainya.
DAFTAR PUSTAKA
Khadziq, 2009, Islam dan Budaya Lokasl;
Belajar Memahami Realitas Agama dalam Masyarakat, (Jogjakarta: Teras),
hlm.42-43
M.Abdul karim, 2007, Islam
Nusantara (Yogyakarta: Pustaka Book Publisher), Hal.147-151.
Mudzirin Yusuf. dkk., Islam
Budaya Lokal, ( Yogyakarta : Pokja Akademik UIN Sunan KaliJaga, 2005
Sidi Gazalba, 1963, Pengantar
Kebudayaan Sebagai Ilmu, (Jakarta: Pustaka Antara)
http://defaultride.wordpress.com/2010/06/07/akulturasi-islam-dengan-budaya-indonesia-dalam-seni-bangunan/14-04-2012
http://www.indoinfo.web.id/2011/08/10/akulturasi-budaya-menurut-para-ahli/ diakses 14-04-2012
[3] Sidi Gazalba, 1963, Pengantar Kebudayaan Sebagai Ilmu,
(Jakarta: Pustaka Antara). hlm. 36
[4] Ibid,hlm. 38
[5] Ibid, hal. 84
[6] Khadziq, 2009, Islam dan Budaya Lokasl; Belajar
Memahami Realitas Agama dalam Masyarakat, (Jogjakarta: Teras), hlm.42-43
[7]
http://defaultride.wordpress.com/2010/06/07/akulturasi-islam-dengan-budaya-indonesia-dalam-seni-bangunan/14-04-2012
[10] Departemen Agama Direktorat Jendral Kelembagaan Agama
Islam, 2005, Rekonstruksi Sejarah Pendidikan Islam Di Indonesia,. Hlm.
137
[11] Ibid.hlm. 149-140
Tidak ada komentar:
Posting Komentar