Senin, 30 April 2012

Akulturasi Islam dan Budaya Dalam Pranata Sosial


BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
              Indonesia, dengan begitu banyak bahasa,  suku, agama, ras, dan berbagai kemajemukan lainnya merupakan suatu anugerah dari Yang Maha Kuasa karena begitu banyak perbedaan dan keunikan melalui masyarakatnya. Sehingga  dengan begitu banyaknya kemajemukan yang timbul di masyarakat tersebut, kita membutuhkan apa yang disebut dengan akulturasi budaya agar satu sama lain bisa saling berdampingan dalam mewujudkan misi bineka tunggal ika.
              Dalam istilah lain proses akulturasi antara Islam dan Budaya local ini kemudian melahirkan apa yang dikenal dengan local genius, yaitu kemampuan menyerap sambil mengadakan seleksi dan pengolahan aktif terhadap pengaruh kebudayaan asing, sehingga dapat dicapai suatu ciptaan baru yang unik, yang tidak terdapat di wilayah bangsa lain. Pada sisi lain local genius memiliki karakteristik antara lain:
1.      Mampu bertahan terhadap budaya luar
2.      Mempunyai kemampuan mengakomodasi unsur-unsur budaya luar
3.      Mempunyai kemampuan mengintegrasi unsur budaya luar ke dalam budaya asliu;dan
4.      Memilkiki kemampuan mengendalikan dan memberikan arah pada perkembangan budaya selanjutnya.[1]

B.     Rumusan Masalah
1.      Bagaimana proses terjadinya akulturasi Islam dan budaya dalam pranata sosial?
2.      Apa wujud akulturasi islam dan budaya lokal dalam bentuk pendidikan Islam?
BAB II
PEMBAHASAN
A.    Brbagai Pengertian
1.      Pengertian Akulturasi
          Menurut pendapat Harsoyo. Akulturasi adalah fenomena yang timbul sebagai hasil kelompok-kelompok manusia yang mempunyai kebudayaan yang berbeda-beda bertemu dan mengadakan kontak secara langsung dan terus-menerus; yang kemudian menimbulkan perubahan dalam pola kebudayaan yang original dari salah satu kelompok atau kedua-duanya.[2]
2.      Pengertian Budaya
          Kebudayaan merupakan kata jadian dari kata dasar budaya. Budaya berasal dari kata budi-daya yang asal muasalnya dari bahasa sansekerta yang dalam bahasa Indonesianya adalah “budi-daya”. Oleh karena itu secara harfiah budaya berarti hal-hal yang berkeitan denganpikiran dan hasil dari tenaga pikiran tersebut.[3] Sidi Gazalba mendefinisikan kebudayaan sebagai cara berfikir dan cara merasa yang menyatakan diri dalam seluruh segi kehidupan dari segolongan manusia yang membentuk kesatuan sosial, dalam satu ruang dan satu waktu.[4]
3.      Pengertian Pranata Sosial
Pranata sosial adalah suatu sistem tata kelakuan dalam hubungan yang berpusat kepada aktivitas-aktivitas untuk memenuhi berbagai kebutuhan khusus dalam masyarakat. Pranata sosial berasal dari bahasa asing social institutions, itulah sebabnya ada beberapa ahli sosiologi yang mengartikannya sebagai lembaga kemasyarakatan, di antaranya adalah Soerjono Soekanto. Lembaga kemasyarakatan diartikan sebagai himpunan norma dari berbagai tindakan yang berkisar pada suatu kebutuhan pokok di dalam kehidupan bermasyarakat.
Dengan kata lain, pranata sosial merupakan kumpulan norma (sistem norma) dalam hubungannya dengan pemenuhan kebutuhan pokok masyarakat. Secara umum, pranata sosial mempunyai beberapa fungsi. Berikut ini fungsi-fungsi pranata sosial.

B.     Hubungan Antara Agama Dan Budaya
Hubungan agama dan kebudayaan ada dua pandangan. Yakni menurut pandangan Islam dan pandangan antropologi. Antropologi memandang agama sebagai bidang kebudayaan, sedangkan islam memandangnya sebagai pengkal dari tiap gerak, pikir dan tindakan manusia. Kehidupan itu diatur oleh kebudayaan dan agama berfungsi untuk membimbing kebudayaan supaya tidak keluar dari norma-norma ajaran Islam.[5]
Antara agama dan budaya keduanya sama-sama melekat, seperti dari aspek keyakinan maupun aspek ibadah formal, prektik agama akan selalu bersamaan, dan bahkan berinteraki dengan budaya. Kebudayaan sangat berperan penting didalam terbentuknya sebuah praktik keagamaan bagi seseorang atau masyarakat. Tidak melahirkan bermacam-macam agama, kebudayaan inilah yang juga mempunyai andil besar bagi terbentuknya aneka ragam praktik beragama dalam satu payung agama yang sama. Dalam kenyataan dua atau lebih orang dengan agama yang samabelum tentu mempunyai praktik atau cara pengamalan agama; khususnya ritual yang sama. Keragaman cara beribadah dalam satu komunitas agama ini mudah kita dapati dalam setiap masyarakat, dengan bentuknya macam-macam kelompok agama (baca: madzhab).[6]
C.    Terjadinya Akulturasi Islam dan Budaya Dengan Masyarakat
               Terjadi proses akulturasi antara ajaran Islam dengan masyarakat di pusat-pusat agama budaya di Indonesia. Terjadi proses “Iltibas bainal haq wal bathil,” percampuradukan antara nilai-nilai yang datang dari Islam dengan nilai-nilai batil yang bersumber dari ajaran-ajaran agama di pusat agama budaya tersebut. Akulturasi Ini hanya mungkin terjadi karena karakteristik Islam yang bersifat Universal.[7]
Proses terjadinya akulturasi kebudayaan Islam dengan budaya pribumi, dapat dibagi menjadi dua:
1.      Fase Alami
Agama islam dengan perangkat budayanya dibawa oleh para pedagang yang dating ke Kepulauan Indonesia. Meskipun tujuan utamanya ialah perdagangan, tetapi tugas menyampaikan agama tidak dapat ditinggalkan. Mereka merasa berkewajiban untuk menyampaikanagama Islam yang biasa dilakukan pada waktu senja yaitu saat-saat senggang dari kesibukan perdagangan. Meskipun kemahiran mereka dalam melakukan dakwah Islamiyah berkembang secara alami, namun berhasil dengan gemilang yang ditunjukkan dengan masuk Islam. Dalam melakukan tugas dakwahnya, mereka tidak diganggu oleh kperluan-keperluan ekonomi. Lama-kelamaan terbentuk kelompok-kelompok dengan bimbingan-bimbingan dari muballigh tertentu yang kemudian tersebar secara alami.
2.      Fase organisasi
Dalam membentuk organisasi diperlukan adanya aturan yang harus dipenuhi, seperti keorganisasian, administrasi, komunikasi, manajemen, financial, dan sebagainya. Kesemuanya banyak diadaptasi dari kebudayaan Barat, terutama yang sudah diambil alih kaum muslim di Mesir dan India. Proses pembentukan organisasi yang sudah tercampur dengan budaya Islam ini, menyebabkan terjadinya cara hidup baru yang modern. Dalam proses modernisasi, bimbingan yang terdapat dalam al-Qur’an dan Hadits, dikembangkan dengan pola pemikiran baru. Sehingga memunculkan gerakan-gerakan Islam yang lebih solid.[8]
Akulturasi ajaran berkembang menjadi kebudayaan yang dapat dikelompokkan menjadi tiga:
1.      Kebudayaan yang didominasi oleh budaya Islam yaitu akulturasi antara dua budaya Islam dan non-Islam, tetapi yang paling menonjol ialah budaya Islam. Hal ini dapat dilihat dalam ritual-ritual Islam seperti; peralatan yang digunakan pada waktu salat (sajadah, tasbih, dan sebagainya), kelembagaan zakat, wakaf, dan pengurusan pelaksanaan haji.
2.      Kebudayaan yang terdiri dari percampuran antara kedua budaya seperti; bangunan masjid, bentuk joglo, pakaian pria ataupun mahramah untuk wanita, lagu, kasidah, tahlil, dan sebagainya
3.      Percampuran kebudayaan yang membentuk pola atau corak kebudayaan tersendiri ialah; sistem pemerintahan (Pancasila), sistem permusyawaratan, dan berbagai pemikiran yang timbul dari berbagai macam pergerakan dan sebagainya.

D.    Bentuk-bentuk hasil dari akulturasi Islam dan budaya lokal
Akulturasi islam dan budaya dalam pranata social merupakan pengaruh islam terhadap kehidupan bangsa Indonesia terdapat diantaranya tiga kemungkinan:
1.      Ajaran islam berpengaruh sangat kuat terhadap pola hidup masyrakat.
2.      Islam dan budaya bangsa berimbang, sehingga merupakan perpaduaan yang harmonis.
3.      Ajaran (moral) islam kurang berpengaruh, sehingga merupakan perpaduaan yang ikut menyempurnakan moral bangsa.

Sebelum tahun 60-an, pranata social yang berupa pusat-pusat pendidikan pesantern dijawa dan Madura lebih dikenal dengan sebutan pondok. Memang sebelum agama islam datang  di Nusantara telah ada pranata pendidikan kuno yang bernama  mandala di daerah pedesaan. Mandala inilah yang komuniti pondok pesantren. Dengan demikian munculah sejumlah besar dilembah-lembah sungai bengawan solodan sungai Brantas yang pada waktu itu merupakan jalur utama di daerah lembah diantara gunung-gunung berapi dipedalaman Jawa Tengah yang subur.[9]

Pendidikan Islam mencakup dimensi bervariasi. Mengalami internalisasi ke dalam berbagai pranata sosial yang ada dalam masyarakat. Terjadinya proses alokasi pendidikan Islam yang beragam menjadi landasan dan memberi makana serta arah dalam kehidupan masyarakat. Hal ini menunjukan bahwa dalam masyarakat terjadi produk dari pendidikan Islam yang dapat dijadikan saluran untuk mengaktualisasi pendidikan islam dalam kehidupan.[10] Adapun pranata-paranata sosial berbasis pendidikan Islam mempunyai karekteristik antara lain:
1.      Pranata Peribadatan
Berfungsi untuk pemenuhan kebutuhan manusia sebagai hamba dalam melakukan hubungan dengan Allah. Seperti masjid, surau, mushola dan lain-lain.
2.      Pranata Kekerabatan
Berfungsi sebagai pemenuhan kebutuhan pemeliharaan dan pengembangan keturunan juga untuk memelihara dan mengembangkan kebudayaan secara kolektif. Untuk memenuhi kebutuhan itu dilakukan penataan antara hubungan individu di dalam lingkungan keluarga, sebagai organisasi sosial terkecil. Pranata ini mengalokasikan nilai dan kaidan al-ahwal as-syakhshiyah, berkenaan dengan penerimaan anggota baru keluarga melalui tahapan pelamaran dan perkawinan, kelahiran dan  lain-lain.


3.      Pranata pendidikan
Berfungsi sebagai pemenuhan kebutuhan dalam mengsosialisasikan keyakinan, nilai-nilai, kaidah-kaidah yang dianut oleh generasi kepada generasi berikutnya.
4.      Pranata Keilmuan
Berfungsi sebagai pemenuhan kebutuhan dalam mengembangkan pemahaman terhadap ayat-ayat Allah.
5.      Pranata Ekonomi
Berfungsi sebagai pemenuhan kebutuhan dalam mengembangkan barang dan jasa dalam kehidupan bermasyarakat. Seperti jual beli, sewa menyewa, hibah, perwakafan, dan lain-lain
6.      Pranata kesehatan
Berfungsi sebagai pemenuhan kebutuhan dalam pemeliharaan dan perawatan kesehatan masyarakat.
7.      Pranata Kesenian
Berfungsi sebagai pemenuhan kebutuhan dalam mengembangkan seni dan ekpresi. Hal ini merupakan bentuk ekspresi nilai-nilai keislaman dalam bentuk seni baca Al-Qur’an, seni musik, seni sastra dan kaligrafi.[11]

Kehadiran Islam ke nusantara tidak lepas dari nuansa, dimana Islam itu lahir. Islam mampu beradaptasi dengan kebudayaan lokal, dimana Islam itu datang. Proses persenyawaan keislaman dengan kenusantaraan, menjadikan Islam yang ada di nusantara ini, mudah diterima oleh masyarakat. Tidak ada resistensi; yang ada adalah penyambutan.Terdapat modifikasi pada injeksi nilai-nilai keislaman dalam tradisi yang telah ada.
Dalam perkembangannya, Islam mudah diterima sebagai agama baru.Bukti nyata dari proses persenyawaan antara Islam dan budaya lokal dalam bidang seni dapat ditemukan dalam bentuk karya Babad, hikayat, lontara, sastra suluk, mitologi,  qasidah rebana, gambus dan lain sebagainya. Kemudian dari segi bentuk arsitektur bangunan-bangunan atap masjid Demak yang berlapis sembilan “dari Meru” pra Islam, kemudian diganti oleh Sunan Kalijaga menjadi tiga yang melambangkan Iman, Islam, dan Ihsan. Budaya selamatan, Maulid Nabi, Yasinan, Sekaten.
E.     Taman Siswa Sebagai Bentuk Akulturasi Budaya
          Tamansiswa berdiri pada 3 juli 1922, pendirinya adalah Raden Mas Soewardi Soeryaningrat atau yang biasa di kenal dengan Ki Hajar Dewantara. Awal pendirian tama siswa di awali dengan ketidak pusan dengan pola pendidikan yang di lakukan oleh pemerintah kolonial, karena jarang sekali Negara colonial yang memberikan fasilitas pendidikan yang baik kepada Negara jajahannya. Karena seperti yang di katakana oleh ahli sosiolog Amerika “pengajaran akan merupakan dinamit bagi system kasta yang di pertahankan dengan keras di dalam daerah jajahan”.
          Sebab itu maka di dirikanlah Taman Siswa, berdirinya Taman Siswa merupakan tantangan terhadap politik pengajaran kolonial dengan mendirikan pranata tandingan. Taman Siswa adalah badan perjuangan kebudayaan dan pembangunan masyarakat yang menggunakan pendidikan dalam arti luas untuk mencapai cita-citanya. Bagi Taman Siswa, pendidikan bukanlah tujuan tetapi media untuk mencapai tujuan perjuangan, yaitu mewujudkan manusia Indonesia yang merdeka lahir dan batinnya. Merdeka lahiriah artinya tidak dijajah secara fisik, ekonomi, politik, dsb, sedangkan merdeka secara batiniah adalah mampu mengendalikan keadaan.
          Dengan proses berdirinya Taman Siswa Ki hajar Dewantara telah mengesampingkan pendapat revolusioner pada masa itu, tapai dengan seperti itu secara langsung usaha Ki Hajar merupakan lawan dari politik pengajaran kolonial.lain dari pada itu kebangkitan bangsa-bangsa yang di jajah dan perlawanan terhadap kekuasaan kilonial umumnya disebut dengan istilah nasionalisme atau paham kebangsaan menuju kemerdekaan. Taman Siswa mencita-citakan terciptanya pendidikan nasional, yaitu pendidikan yang beralas kebudayaan sendiri. Dalam pelaksanaanya pendidikan Taman Siswa akan mengikuti garis kebudayaan nasional dan berusaha mendidik angkatan muda di dalam jiwa kebangsaan.
          Pendidikan Taman Siswa dilaksanakan berdasar Sistem Among, yaitu suatu sistem pendidikan yang berjiwa kekeluargaan dan bersendikan kodrat alam dan kemerdekaan. Dalam sistem ini setiap pendidik harus meluangkan waktu sebanyak 24 jam setiap harinya untuk memberikan pelayanan kepada anak didik sebagaimana orang tua yang memberikan pelayanan kepada anaknya.
          Sistem Among tersebut berdasarkan cara berlakunya disebut Sistem Ajarannya yang terkenal ialah tut wuri handayani (di belakang memberi dorongan), ing madya mangun karsa (di tengah menciptakan peluang untuk berprakarsa), ing ngarsa sungtulada (di depan memberi teladan). Dalam sistem ini orientasi pendidikan adalah pada anak didik, yang dalam terminologi baru disebut student centered. Di dalam sistem ini pelaksanaan pendidikan lebih didasarkan pada minat dan potensi apa yang perlu dikembangkan pada anak didik, bukan pada minat dan kemampuan apa yang dimiliki oleh pendidik. Apabila minat anak didik ternyata akan ke luar “rel” atau pengembangan potensi anak didik di jalan yang salah maka pendidik berhak untuk meluruskannya.
          Untuk mencapai tujuan pendidikannya, Taman Siswa menyelanggarakan kerja sama yang selaras antar tiga pusat pendidikan yaitu lingkungan keluarga, lingkungan perguruan, dan lingkungan masyarakat. Pusat pendidikan yang satu dengan yang lain hendaknya saling berkoordinasi dan saling mengisi kekurangan yang ada. Penerapan sistem pendidikan seperti ini yang dinamakan Sistem Trisentra Pendidikan atau Sistem Tripusat Pendidikan.
          Pendidikan Tamansiswa berciri khas Pancadarma, yaitu Kodrat Alam (memperhatikan sunatullah), Kebudayaan (menerapkan teori Trikon), Kemerdekaan (memperhatikan potensi dan minat maing-masing individu dan kelompok), Kebangsaan (berorientasi pada keutuhan bangsa dengan berbagai ragam suku), dan Kemanusiaan (menjunjung harkat dan martabat setiap orang).[12]



















BAB III
KESEIMPULAN
           masuk ke Indonesia tidak dalam tempat yang kosong, melain telah terisi oleh budaya-budaya yang terlebih dahulu menempati masyarakat Indonesia. Kemudian Islam datang ke Indonesia sekitar abad ke 13 dan membentuk sebuah relasi yang mudah di terima oleh Masyarakat. Terjadi proses akulturasi antara ajaran Islam dengan masyarakat di pusat-pusat agama budaya di Indonesia. Terjadi proses “Iltibas bainal haq wal bathil,” percampuran antara nilai-nilai yang datang dari Islam dengan nilai-nilai batil yang bersumber dari ajaran-ajaran agama di pusat agama budaya tersebut. Akulturasi Ini hanya mungkin terjadi karena karakteristik Islam yang bersifat Universal. Proses terjadinya akulturasi kebudayaan Islam dengan budaya pribumi, dapat dibagi menjadi dua: yaitu alami dan organisasi.
Akulturasi ajaran berkembang menjadi kebudayaan yang dapat dikelompokkan menjadi tiga:
4.      Kebudayaan yang didominasi oleh budaya Islam yaitu akulturasi antara dua budaya Islam dan non-Islam, tetapi yang paling menonjol ialah budaya Islam. Hal ini dapat dilihat dalam ritual-ritual Islam seperti; peralatan yang digunakan pada waktu salat (sajadah, tasbih, dan sebagainya), kelembagaan zakat, wakaf, dan pengurusan pelaksanaan haji.
5.      Kebudayaan yang terdiri dari percampuran antara kedua budaya seperti; bangunan masjid, bentuk joglo, pakaian pria ataupun mahramah untuk wanita, lagu, kasidah, tahlil, dan sebagainya
6.      Percampuran kebudayaan yang membentuk pola atau corak kebudayaan tersendiri ialah; sistem pemerintahan (Pancasila), sistem permusyawaratan, dan berbagai pemikiran yang timbul dari berbagai macam pergerakan dan sebagainya.

DAFTAR PUSTAKA
Khadziq, 2009, Islam dan Budaya Lokasl; Belajar Memahami Realitas Agama dalam Masyarakat, (Jogjakarta: Teras), hlm.42-43
M.Abdul karim, 2007, Islam Nusantara (Yogyakarta: Pustaka Book Publisher), Hal.147-151.
Mudzirin Yusuf. dkk., Islam Budaya Lokal, ( Yogyakarta : Pokja Akademik UIN Sunan KaliJaga, 2005
Sidi Gazalba, 1963, Pengantar Kebudayaan Sebagai Ilmu, (Jakarta: Pustaka Antara)
http://defaultride.wordpress.com/2010/06/07/akulturasi-islam-dengan-budaya-indonesia-dalam-seni-bangunan/14-04-2012



[3] Sidi Gazalba, 1963, Pengantar Kebudayaan Sebagai Ilmu, (Jakarta: Pustaka Antara). hlm. 36
[4] Ibid,hlm. 38
[5] Ibid, hal. 84
[6] Khadziq, 2009, Islam dan Budaya Lokasl; Belajar Memahami Realitas Agama dalam Masyarakat, (Jogjakarta: Teras), hlm.42-43
[7] http://defaultride.wordpress.com/2010/06/07/akulturasi-islam-dengan-budaya-indonesia-dalam-seni-bangunan/14-04-2012
[8] M.Abdul karim, 2007, Islam Nusantara (Yogyakarta: Pustaka Book Publisher), Hal.147-151.
[9] Koentjaraningrat, kebudayaan Jawa, (Jakarta: Balai Pustaka, 1984), hal. 316
[10] Departemen Agama Direktorat Jendral Kelembagaan Agama Islam, 2005, Rekonstruksi Sejarah Pendidikan Islam Di Indonesia,. Hlm. 137
[11] Ibid.hlm. 149-140

Tidak ada komentar:

Posting Komentar