Senin, 30 April 2012

Hasil Belajar Afektif Dalam PAI


Hasil belajar afektif adalah hasil belajar yang berkaitan dengan minat, sikap dan nilai- nilai. Hasil belajar ini pula yang harus diperhatikan  oleh guru PAI sebab, hasil belajar ini tidak kalah penting dengan jenis hasil belajar  kognitif dan psikomotor. Sebagaimana kedua jenis hasil belajar sebelumnya, hasil belajar afektif ini juga terdiri dari beberapa tingkat/ jenjang, yaitu:
                                                      1.            Receiving atau Attending
Kepekaan dalam menerima rangsangan (stimulus) dari luar yang dating kepada peserta didik dalam bentuk masalah, situasi, gejala dan lain-lain. Dalam tipe ini termasuk kpada; kesadaran yaitu keinginan untuk mentuk menerima stimulus, kontrol dan seleksi gejala atau rangsangan dari luar. Receiving ini dapat diartikan pula sebagai kemauan untuk memperhatikan suatu kegiatan atau suatu objek,  dan hasil belajar dalam tingkat ini adalah berwujud pada suatu kesadaran bahwa sesuatu itu ada, sampai kepada minat khusus dari pihak peserta didik itu sendiri. Contoh peserta didik segera membuang sampah pada tempatnya begitu ia melihat sampah berserakan, begitu juga dengan dirinya yang tidak membuang sampah sembarangan dan slalu pada tempatnya.
                                                      2.            Responding
Responding atau menanggapi mengandung arti adanya partisipasi aktif dari peserta didik. Pada tingkat ini peserta didik tidak hanya bersedia atau mau memperhatikan penjelasan guru saja, tetapi peserta didikpun mampu untuk bereaksi aktif. Misalnya dalam pembelajaran Al-Qur’an- Hadits, hasil afektif tingkat responding ini adalah kesediaan peserta didik untuk bertanya seputar asbabunnuzulnya ayat, asbabul wurudnya hadits dan nilai-nilai yang terkandung di dalamnya. Selain itu peran aktif dengan sesama perserta didikpun terlihat, seperti diskusi dan saling melengkapi satu samalainya.
                                                      3.            Valuing
                        Valuing artinya memberikan penialian atau menghargai. Menghargai artinya memberikan nilai pada suatu kegiatan atau objek, sehingga apabila kegiatan itu tidak dikerjakan, dirasakan akan membawa kerugian atau penyesalan. Penilain atau penghargaan ini berkenaan dengan nilai dan kepercayaan peserta didik terhadap gejala atau stimulus yang ditimbulkan. Pertanyaanya, bagaiman bentuk hasil belajar tingkat valuing ini dalam pembelajaran PAI ? tentunya sebagai seorang guru harus bisa menumbuhkan minat pada diri peserta didik, baik itu malalui metode ataupun stategi pengajaran yang digunakan.
Seorang guru pasti menginginkan peserta didiknya mempelajari dengan baik suatu nilai atau prilaku dan kemudian mampu mengamalkanya. Misalnya ketika diajarkan bahwa membaca Al-Qur’an itu merupakan ibadah dan mendapat pahala, kemudian anak didik tersebut mau mengamalkanya setiap hari. Kemampuan seperti ini adalah merupakan contoh dari hasil belajar tingkat valuing.
                                                      4.            Organization (mengatur atau mengorganisasikan)
Artinya mempertemukan perbedaan nilai sehingga terbentuk nilai baru yang lebih universal, yang membawa kepada perbaikan umum. Level ini berkaitan dengan menyatukan nilai- nilai yang berbeda- beda, menyelesaikan konflik diantara nilai- nilai itu, dan mulai membentuk suatu sistem nilai yang konsisten secara internal. Hal ini member penekanan kepada: membandingkan, menghubungkan dan mensintesakan nilai- nilai. seperti contoh dalam pembelajaran PAI peserta didik diajarkan kejujuran, sifat amanah, adil dan sebagainya. Di sisi lain anak didik melihat apa yang terjadi dilingkungan masyarakatnya banyak diwarnai ketidak jujuran, ketidak adilan, tidak amanah dan sebagainya, dalam keadaan demikian terjadi pergolakan dalam diri anak didik. Namun anak yang mampu mengatasi masalah tersebut karena ia telah memiliki kempuan mengorganisasikan masalah tersebut dengan cara membandingkan dengan apa yang ia ketahui dan menghubungkan dengan kejadian tersebut sehingga menghasilkan suatu nilai yang lebih universal, kuat dan tidak tergoyahkan.
Hasil belajar afektif jenjang organisasi ini berkaitan dengan konseptualisasi suatu nilai, misalnya; mengakui tanggung jawab tiap individu untuk memperbaiki hubungan- hubungan manusia.

                                                      5.            Characterization by a value or value complex (karakterisasi dengan satu nilai atau nilai kompleks)
Yakni keterpaduan semua (Receiving atau Attending,  Responding,  Valuing  dan Organization) sistem nilai yang telah dimiliki seseorang, yang mempengaruhi pola kepribadian dan tingkah lakunya. Tingkatan ini proses internalisasi telah menduduki tempat tertinggi dalam suatu urutan nilai sehingga nilai itu telah tertanam secara konsisten pada sistemnya  dan mempengaruhi emosinya. Individu yang memiliki kemampuan afektif pada tingkatan ini bererti ia telah memiliki filosofi hidup yang mapan karena individu tersebut telah memiliki sistem yang mengontrol tingkah lakunya sehingga membentuk karakteristik pola hidup, tingkah lakunya menetap dan konsisten. Dalam pembelajaran PAI misalnya, anak didik diajari tentang pentingnya menjaga dan melestarikan lingkungan. Maka nilai- nilai menjaga dan melestarikan lingkungan ini benar- benar telah menjadi komitmen pada dirinya.

            Jadi pada kesimpulanya hasil belajar afektif ini lebih menekan kepada kesan yang berupa sikap dan nilai-niai yang dapat ditangkap oleh peserta didik dalam merealisasikan nilai-nilai tersebut pada kehidupan keseharianya. Dalam mengevaluasi hasil belajar afektif ini seorang guru tidak dapat menerapkan metode soal baik esai ataupun pilihan ganda, karena hasil belajar afektif ini lebih cenderung bersifat abstrak. Oleh karena itu dalam mengavaluasi hasil belajar afektif ini dibutuhkan adanya tehnik wawancara (orang tua, teman terdekatnya) maupun observasi serta pengamatan langsung terhadap peserta didik dalam kehidupan sehari-harinya.

IMPLEMENTASI ALIRAN ESENSIALISME DI INDONESIA


Esensialisme kerap diungkap sebagai reaksi kedua terhadap progresivisme taahun 1930-an. Dengan alasan yang hampir sama dengan kalangan perenialisme, kalangan esensialisme menilai praktik progresivisme telah melahirkan praktik pendidikan yang gagal, teruama karena upaya progresivisme di dalam menjadikan pendidikan sebagai usaha belajar tanpa penderitaan karena dipandang cenderung aristokratis dan antidemokratis.[1]
Esensialisme adalah pendidikan yang di dasarkan kepada nilai-nilai kebudayaan yang telah ada sejak awal peradaban manusia. Esensialisme muncul pada zaman Renaisance dengan ciri-ciri utama yang berbeda dengan progresivisme. Progresivisme berpandangan behwa banyak hal itu mempunyai sifat yang serba fleksibel dan nilai-nilai itu berubah dan berkembang. Sedangkan esensialisme menganggap bahwa pijakan semacam ini kurang tepat, karena dalam pendidikan itu sifat fleksibilitas dalam segala bentuk dapat menjadi sumber timbulnya pandangan yang berubah-rubah, sehingga pelaksanaanya menjadi tidak stabil dan tidak menentu[2]. Oleh karena itu  esensialisme memandang bahwa pendidikan harus berpijak pada nilai-nilai yang memiliki kejelasan dan tahan lama yang memberikan kesetabilan dan nilai-nilai terpilih yang mempunyai tata yang jelas (zuhairini, 1991: 21).[3]
Essensislisme suatu aliran filsafat yang lebih merupakan perpaduan ide filsafat idealisme objektif di satu sisi dan realisme objektif di sisi lainnya. Oleh karena itu wajar jika ada yang mengatakan Platolah sebagai peletak asas-asas filosofis aliran ini, ataupun Aristoteles dan Democratos sebagai peletak dasar-dasarnya. Kendatipun aliran ini kemunculan aliran ini di dasari oleh pemikiran filsafat idealisme Plato dan realisme Aristoteles, namun bukan berarti kedua aliran ini lebur kedalam paham esensialisme[4]. Aliran filsafat essensialisme pertama kali muncul sebagai reaksi atas simbolisme mutlak dan dogmatisme abad pertengahan. Filsafat ini menginginkan agar manusia kembali kepada kebudayaan lama karena kebudayaan lama telah banyak melakukan kebaikan untuk manusia.[5]
Idealisme dan realisme adalah aliran filsafat yang membentuk corak esensialisme. Dua aliran ini bertemu sebagai pendukung esensialisme, akan tetapi kedua aliran tersebut tidak melebur menjadi satu dan tidak melepaskan sifat utamanya pada dirinya masing-masing.
A.    Kontribusi Realisme dan Idealisme kepada Esensialisme
1.      Realisme
Realisme memberi dukungan kepada esenialisme berupa pandangan yang sistematis mengenai alam serta tampat manusia didalamnya. Ilmu pengetahuan yang mempengaruhi aliran realisme dapat dilihat dari fisika dan ilmu-ilmu lain yang dapat dipahami berdasarkan adanya tata dan jalan yang husus. Dengan demikian berarti bahwa suatu kejadian yang paling sederhana pun dapat ditafsirkan menurut hukum alam, seperti contoh daya tarik bumi bisa diketahui berdasarkan tata dan jalan yang jelas ilmu Geografi.
2.      Idealisme
Idealisme memberi dukungan terhadap sensialisme berupa idealisme objektif yang mempunyai pandangan kosmis yang lebih optimis dibandingkan dengan realisme obyektif. Maksudnya adalah bahwa pandangan-pandanganya bersifat menyeluruh yang boleh dikatakan meliputi segala sesuatu. Dengan landasan pikiran bahwa totalitas dalam alam semesta ini pada hakikanya adalah jiwa atau spirit, idealisme menetapkan suatu pendirian bahwa sesuatu yang ada ini adalah nyata.
Intinya adalah realisme menitik beratkan  tijauanya mengenai alam dan dunia fisik sedangkan idealisme menitik beratkan pandanganya kepada spiritualitas. George Wilhelm Friedrich (1770-1831) mengemukakan adanya sintesis antarara ilmu pengetahuan (realisme) dan agama (idealisme) menjadi suatu pemahaman yang menggunakan landasan spiritual.[6]

B.     Pandangan Ontologi Esensialisme
Sifat yang menonjol dari ontologi esensialisme adalah suatu konsep bahwa dunia ini dikuasai oleh tata yang tiada cela, yang mengatur isinya dengan tiada cela pula. Pendapat ini berarti bahwa bagaimana bentuk, sifat, kehendak dan cita-cita manusia haruslah disesuaikan dengan tata alam yang ada.[7] Tujuan umum pandangan ini adalah membentuk pribadi bahagia di dunia dan di akhirat. Sedangkan isi pendidikanya mencangkup ilmu pengetahuan, kesenian dan segala hal yang mampu menggerakan kehendak manusia.
C.    Pandangan Epistimologi Esensialisme
Teori k\teori kepribadian manusia sebagai refleksi Tuhan adalah jalan untuk mengerti epistimologi esensialisme. Sebab jika manusia mampu menyadari realitanya sebagau mikrokosmos dan maksokosmos. Maka manusia pasti mengetahui dalam tingkat atau kualitas rasionya mampu memikirkan kesemestianya. Berdasarkan kualitas inilah dia mampu memproduksi secara tepat pengetahuanya dalam benda-benda, ilmu alam, sosial dan agama.[8]
D.    Pandangan Aksiologi Esensialisme
Pndangan ontologi dan epistimologi sangat mempengeruhi pandangan aksiologi. Bagi aliran ini, nilai- nilai berasal tergantung pandangan- pandangan idealisme dan realisme sebab esensialisme terbina oleh kedua syarat tersebut.
1.      Teori Nilai Menurut idealisme
Penganut idealisme berpegangan bahwa hukum-hukum etika adalah hukum kosmos, karena itu seseorang dikatakan baik jika banyak berinterakifdalam melaksanakan hukum- hukum itu. Menurut idealisme bahwa sikap, tingkah laku dan ekspresi perasaan juga mempunyai hubungan dengan kualitas baik dan buruk. Seperti orang yang berpakaian serba formal seperti dalam upacara, haruslah oramg tersebut bersikaf formal dan teratur pula.
2.      Teori Nilai Menurut Realisme
Perinsip realisme tentang tentang etika ialah melalui asas ontologi bahwa sumber semua pengetahuan manusia terletak pada masalah baik-buruk khususnya dan keadaan manusia pada umumnya. Perbuatan seseorang adalah hasil perpaduan yang timbul sebagai akibat adanya saling hubungan antara pembawa- pembawa fisiologis dan pengaruh- pengaruh dari lingkungan.[9]


E.     Pndangan Esensialisme Mengenai Belajar
Idealisme sebagai filsafat hidup, memulai tinjauanya mengenai pribadi individu dengan menitik beratkan kepada aku. Menurut idealisme, bila seseorang itu belajar pada taraf permulaan adalah memahami akunya sendiri, terus bergerak memahami dunia obyektif dari mikrokosmos menuju makrokosmos.
Pandangan Immanuel Kant mengatakan bahwa segala pengetahuan yang dicapai oleh manusia melalui indra memerlukan unsur apriori yang tidak didahului oleh pengalaman lebih dulu. Bila seseorang berhadapan benda-benda, tidak berarti bahwa mereka itu sudah mempunyai bentuk, ruang dan ikatan waktu. Bentuk, ruang dan waktu sudah ada pada budi manusia sebelum ada pengalaman atau pengamatan. Jadi apriori yang terarah bukanlah budi kepada benda, tetapi benda-benda itu yang terarah kepada budi. Budi membentuk, mengatur dalam ruang dan waktu.
Dengan mengambil landasan fikir tersebut, belajar dapat didefinisikan sebagai jiwa yang berkembang pada sendirinya sebagai substansi spiritual. Jiwa membina dan menciptakan diri sendiri (Poedjawijatna 1983: 120-121). Dengan demikian pandangan- pandangan realisme mencerminkan adanya dua jenis determinasi mutlak dan terbatas:
1.      Determinisme mutlak,menunjukan bahwa belajar  adalah mengalami hal- hal yang tidak dapat di halang-halangi adanya, jadi harus ada yang membentuk dunia ini. Pengenalan ini perlu diikuti oleh penyesuaian supaya  dapat tercipta suasana hidup yang harmonis.
2.      Determinisme terbatas, memberikan gambaran kurangnya sifat fasif mengenai belajar. Bahwa meskipun pengenalan terhadap hal- hal yang mendorong kearah timbulnya orang lain (kausatif) di dunia ini, berarti tidak dimungkinkan adanya penguasaan terhadap mereka, namun kemampuan akan pengawasan diperlukan.[10]

F.      Pandangan  Esensialisme Mengenai Kurikulum
Herman arrel Horne mengatakan bahwa hendaknya kurikulum itu bersendikan aas pundamen tunggal, yaitu watak manusia yang ideal dan ciri- ciri masyarakat yang ideal. Kegiatan dalam pendidikan perlu disesuaikan dan ditujukan kepada yang serba baik. Atas ketentuan ini kegiatan dan keaktifan anak didik tidak terkekang, asalkan sejalan dengan pundamen-pundamen yang telah ditentukan.

Bogoslousky, mengutarakan disamping menegaskan bahwa kurikulum dapat terhindar dari adanya pemisahan mata pelajaran yang satu dengan yang lain. Menurutnya kurikulum diumpamakan sebagai sebuah rumah yang mempunyai empat bagian:
1.      Universum
Pengetahuan merupakan latar belakang dari adanya kekuatan segala manifestasi hidup manusia. Diantaranya adalah adanya kekuatan- kekuatan alam, asal- usul tatasurya dan lain-lainya. Basis pengetahuan ini adalah ilmu pengetahuan alam kodrat yang diperluas.
2.      Siviliasi (peradapan)
Karya yang dihasilkan manusia sebagai akibat hidup masyarakat. Dengan siviliasi manusia mampu mengadakan pengawasan terhadap lingkunganya, mengejar kebutuhan dan hidup aman dan sejahtera.
3.      Kebudayaan
Kebudayaan merupakan karya manusia yang mencangkup di antaranya filsafat, kesenian, kesusastraan, agama, penapsiran dan penilaian mengenai lingkungan.
4.      kepribadian
Bagian yang bertujuan pembentukan kepribadian dalam arti riil yang tidak bertentangan dengan kerpibadian yang ideal. Dalam kurikulum hendaklah diusahakan agar faktor- faktor fisik, fisikis, emosional dan spiritual sebagai keseluruhan yang dapat berkembang secara harmonis dan organis, sesuai kdengan kemanusiaan yang ideal.
Robert Ulich berpendapat bahwa meskipun pada hakekatnya kurikulum disusun secara fleksibel karena perlu mendasarkan atas pribadi anak, fleksibikitas tidak dapat diterapkan pada pemahaman mengenai agama dan alam semesta. Untuk itu perlu diadakan perencanaan dengan keseksamaan dan kepastian.[11]



DAFTAR FUSTAKA
Teguh Wangsa Ghandi, “Mazhab-mazhab Filsafat Pendidikan”, (Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2011)
Imam Barnadib, ‘’ Filsafat Pendidikan ‘’ (Yogyakarta: Andi Offset, 1988)
Abdullah Ldi, “Filsafat Pendidikan, Manusia, Filsafat dan Pendidikan”. (Jakarta: Gaya Media Pratama, 1997)
 Muhmidayeli, filsafat pendidikan Islam,( Yogyakarta:Aditya media, 2005)
Hamdani Ali, Filsafat pendiikan, (Yogyakarta : kota kembang, 1993)



[1] Teguh Wangsa Ghandi, “Mazhab-mazhab Filsafat Pendidikan”. Hlm 159
[2] Imam Barnadib, ‘’ Filsafat Pendidikan ‘’ hlm 38
[3] Abdullah Ldi, “Filsafat Pendidikan, Manusia, Filsafat dan Pendidikan”. Hlm 81
[4] Muhmidayeli, filsafat pendidikan Islam,hlm.184
[5] B.Hamdani Ali, Filsafat pendiikan,hlm. 116
[6] Abdullah Ldi, “Filsafat Pendidikan, Manusia, Filsafat dan Pendidikan”. . hlm 83
[7] Ibid. hlm 82
[8] Ibid. hlm 84
[9] Ibid. hlm 87
[10] Ibid. hlm 88
[11] Ibid Hlm 88-89

SIFAT-SIFAT HAMBA ALLAH YANG MENDAPAT KEMULIAAN KAJIAN QS AL-FURQAN AYAT 63-67


BAB I
PENDAHULUAN
Al-Qur’an menggambarkan profil hamba Allah yang ideal, yang tentunya menjadi orientasi pendidikan Qur’ani. Mereka adalah orang-orang yang berakidah lurus, beribadah secara istiqomah dan penuh ketundukan, serta mempunyai akhlak yang luhur. Mereka memiliki sikap rendah hati, tidak sombong, berbicara dengan kata-kata yang baik, dan tidak menanamkan kebencian, serta jika mereka dicela, dibalasnya dengan cara yang baik. Mereka orang-orang yang menghabiskan sebagian malamnya untuk melakukan shalat serta ‘amal shalih lainnya, selalu memohon dihindarkan dari adzab neraka, dan proporsional dalam membelanjakan harta. Mereka juga tidak berlaku syirik, membunuh, ataupun berzina, tidak memberikan kesaksian palsu dan tidak melakukan hal-hal yang tercela.
Menjadi hamba pilihan adalah dambaan setiap orang. Disamping beriman dan berilmu, ia juga memiliki akhlak yang baik. Bila kita memahami dan merenungi firman Allah subhanahu wa Ta’ala, sifat-sifat ‘Ibadurrahman ini telah tercantum di dalam Al Qur’an surat Al Furqan: 63-74.
Rumusan Masalah
1.       Apa definisi Ibaadurrahman
2.      Apa saja dan bagaimana sifat sifat hamba-hamba Allah yang beriman yang dimaksud pada QS Al-Furqan ayat 63-67?







BAB II
PEMBAHASAN
A.    Definisi Ibadurrahman

1.      Tawadu’
 
 Dan hamba-hamba Tuhan yang Maha Penyayang itu (ialah) orang-orang yang berjalan di atas bumi dengan rendah hati dan apabila orang-orang jahil menyapa mereka, mereka mengucapkan kata-kata (yang mengandung) keselamatan.
Imam Ibnu Katsir rahimahulllah menafsirkan ayat ini bahwa inilah sifat-sifat hamba Allah subhanahu wa ta’ala yang beriman, ”Orang-orang yang berjalan dimuka bumi dengan rendah hati ( tawadhu’), berjalan di muka bumi dengan ramah dan lemah lembut, tidak berpura-pura dalam gaya berjalannya dan tidak dengan kesombongan, tidak berjalan dengan gaya yang dibuat-buat serta tidak lemah. Dan yang dimaksud bukanlah bahwa mereka berjalan seperti orang yang sakit, dalam keadaan lemah dan dalam rangka riya’ karena Rasululllah shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri apabila berjalan maka seakan -akan beliau adalah air yang mengalir dari tempat yang tinggi dan seolah-olah bumi dilipat untuk beliau.”
Al haun adalah gaya berjalan seseorang yang sesuai dengan karakter aslinya, tidak berpura-pura dan tidak pula sombong, sedangkan gaya berjalan yang sombong dibenci, kecuali dalam perang di jalan Allah.
Yang dimaksud dengan kata “ rendah hati” disini adalah ketenangan dan kewibawaan Sebagaimana dalam sebuah hadist, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,”
إذَا أُقِيمَتُ الصَّلاةُ فَالا تَأْ تُوْهَا تَسْعَوْنَ ، وَأْتُوْهَا تَمْشُونَ عَلَيْكُمُ السَّكِيْنَتةُ ، فَماَأدْرَكْتُمْ فَصَلُّوا، وَماَ فاَتَكُمْ فأَتِمُّوا
Artinya: “Apabila shalat telah ditegakkan ( iqamat ), maka janganlah kalian mendatanginya dengan tergesa-gesa, datangilah dengan berjalan biasa dan wajib bagi kalian untuk tenang sehingga rekaan berapapun yang kalian dapat, langsunglah kalian shalat ( dibelakang imam), dan berapa rekaan rekaatpun yang tertinggal dari kalian maka sempurnakanlah…” (Muttafaq’alaih)
Sehingga maksud “orang-orang yang berjalan di atas bumi dengan rendah hati” yaitu bukanlah mereka yang berjalan dengan menundukkan kepalanya, sempoyongan, sebagaimana yang difahami sebagian orang yang ingin menampakkan ketakwaan dan kebaikannya.
Ketika Umar bin Khattab Radhiyallahu ‘anhu melihat seorang pemuda yang berjalan dengan lambat, ia bertanya kepadanya: ”Apakah kamu sedang sakit?“ Ia menjawab, “ Tidak.” Beliaupun memerintahkan pemuda itu untuk berjalan dengan cepat dan penuh kekuatan.
2.    Membalas Kejelekan dengan Kebaikan
 Dan orang yang melalui malam hari dengan bersujud dan berdiri untuk Tuhan mereka (QS Al Furqan 64).
Jika orang-orang bodoh mengumpat mereka dengan ucapan yang buruk, mereka tidak membalasnya dengan ucapan yang buruk pula, tetapi memaafkan, membiarkan, dan tidak membalas kecuali dengan perkataan yang baik. Sebagaimana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak membalas perbuatan bodoh (jahil) mereka melainkan dengan kesabaran dan lemah lembut,
“Qaalu Salaaman”: ada beberapa pendapat dalam memaknai kata “salaaman” yaitu :
a)      Tidak bertindak bodoh kepada seorang pun dan jika ada yang bertindak bodoh kepada mereka, mereka akan berlemah lembut kepadanya.
b)      Mereka berkata dengan perkataan yang benar tidak menyakiti dan tidak mengandung dosa. Dan ini merupakan pendapat imam Mujahid, yang menjelaskan tentang makna dari kata “salaaman” yaitu kebenaran, yang dimaksud adalah mereka (‘Ibadurrahman).
c)      Ada yang berpendapat, ”Jika orang-orang tolol mengarahkan kepada mereka ucapan yang buruk dan perkataan yang keji, mereka mengatakan kepada orng-orang tersebut, ”Salaaman” yaitu, ”Uacapan keselamatan dari kalian,” itu merupakan ucapan salam perpisahan, bukan penghormatan.”
Maka sifat ‘Ibadurrahman adalah tidak membalas perkataan yang buruk dengan perkataan yang serupa. Dan ketika orang-orang dungu melontarkan kalimat yang rendah, ucapan yang buruk dan ungkapan yang keji lagi jelek, merekapun berpaling dan berkata: semoga keselamatan menimpa kalian, kami tidak mengharapkan orang-orang yang bodoh.[1]
Imam Ahmad meriwayatkan dari An-Nu’man bin Muqrin Al Muzani, dia berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda ketika ada seseorang mencaci orang yang ada di dekat beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam, kemudian orang yang dicaci itu berkata: bagimu keselamatan, maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ”Sesungguhnya seorang malaikat yang ada diantara kalian berdua, setiap kali orang itu mencacimu, dia akan membelamu, ia berkata kepada pencaci itu, Bahkan kamu dan kamu yang lebih pantas mendapatkan cacian tersebut, dan apabila kamu mengatakan kepadanya, ’Bagimu keselamatan’, malaikat akan berkata, Tidaklah untuknya, tetapi untuk kamu, kamu lebih pantas mendapatkannya.” ( HR. Ahmad ).[2]
3.    Senantiasa Tahajjud di Keheningan Malam


Sesungguhnya Jahannam itu seburuk-buruk tempat menetap dan tempat kediaman. (QS Al Furqan 65).
Sifat ketiga untuk menjadi hamba yang ‘Ibadurrahman yaitu senantiasa tahajjud dikeheningan malam di saat kebanyakan manusia sedang tidur atau menghabiskan malam untuk waktu istirahat mereka. Pada kondisi inilah disaat hati sedang tenang karena jauh dari berbagai kesibukan urusan dunia.
Mereka adalah orang yang menyedikitkan tidurnya, menjauhkan diri dari hal-hal yang melalaikan jiwa mereka di malam hari. Rasa takut dan harapan mereka terhadap Rabb mereka telah mampu menjadikan mereka sebagai manusia-manusia penghidup malam.
Waktu malam merupakan waktu yang tepat untuk beribadah dan bermunajat kepada Allah subhanahu wa ta’ala. Waktu yang mustajab untuk berdoa kepada Allah subhanahu wa ta’ala. Dalam sebuah hadist yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari, dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu sesungguhnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya Rabb kami yang Maha Berkah lagi Maha Tinggi turun setiap malam ke langit dunia hingga tersisa sepertiga akhir malam, lalu Berfirman: ‘Barangsiapa yang berdoa, maka Aku akan kabulkan, barangsiapa yang memohon, pasti Aku akan perkenankan dan barangsiapa yang meminta ampun, pasti Aku akan mengampuninya.’” ( HR. Al Bukhari). [3]
4.    Ketakutan Mereka dari Adzab Neraka Jahannam
š
Artinya  Dan orang-orang yang berkata: "Ya Tuhan kami, jauhkan azab Jahannam dari kami, Sesungguhnya azabnya itu adalah kebinasaan yang kekal".  (QS Al-Furqan 65). Sesungguhnya Jahannam itu seburuk-buruk tempat menetap dan tempat kediaman. (QS Al-Furqan 66).
Sifat hamba yang ‘Ibadurrahman adalah mereka takut terhadap adzab neraka Jahannam. Secara umum makna ayat ini yaitu Sesungguhnya mereka beribadah kepada Rabb mereka, mereka takut terhadap siksa-siksa-Nya, sesungguhnya adzab Rabb mereka, tidak ada orang yang merasa aman dari kedatangannya, sehingga diantara mereka ada yang tamak dan senantiasa mengharapkan rahmat dari Allah, berada dalam ketakutan, dan kekhawatiran terhadap adzab serta siksaan-Nya. Begitu pula keadaan orang-orang yang beriman kepada Allah , mereka tidak pernah putus asa memohon kepada Allah , dan tidak pernah merasa tenang akan siksa dari-Nya. (Diriwayatkan oleh Thabrani di dalam Al- Ausath)
Kedahsyatan adzab neraka Jahannam sudah banyak digambarkan melalui ayat-ayat Al Qur’an. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda dalam menerangkan firman Allah subhanahu wa ta’ala:
“Dihadapannya ada Jahannam dan dia diberi minuman dengan air nanah itu dan hampir dia tidak bisa menelannya dan datanglah (bahaya) maut kepadanya dari segenap penjuru, tetapi dia tidak juga mati, dan dihadapannya masih ada adzab yang berat.” (QS. Ibrahim: 16-17). [4]
5.    Tidak Berlebihan dalam Membelanjakan Harta

 Dan orang-orang yang apabila membelanjakan (harta), mereka tidak berlebihan, dan tidak (pula) kikir, dan adalah (pembelanjaan itu) di tengah-tengah antara yang demikian. (QS Al-Furqan 77)

Maknanya adalah sesungguhnya diantara sifat mereka bahwa mereka senantiasa bersikap pertengahan dalam infaq mereka sehingga mereka tidak israf dengan melampaui batas yang tidak disyari’atkan Allah dan tidak pula mereka bakhil, lebih-lebih taqtir dan menyempitkan hingga di bawah batasan. Sesungguhnya mereka adil dan tengah-tengah dalam melakukannya karena mengetahui bahwa sebaik-baik urusan adalah pertengahannya, sehingga di dalam kehidupan mereka, mereka adalah tauladan yang dapat ditiru di dalam sikap ekonomis dan pertengahan serta seimbang.
Jadi kedua sifat yang harus dihindari yaitu israf dan taqtir. Penyianyiaan harta yang bukan pada tempatnya merupakan bentuk Israf sedangkan taqtir adalah pengumpulan harta untuk dirinya sendiri. Maka hamba yang ‘Ibadurrahman dia adalah pertengahan dan seimbang dalam menggunakan hartanya.


[2] HR. Imam Ahmad dalam kitab Al Musnad: 5/445
[3] Shahih Bukhari kitab Da’awaat, bab Doa Nisfullail, 7/149-150